“Sebuah wilayah pesisir selatan Papua yang bernama Agats ini akan basah dan menjadi wilayah rawa untuk selamanya.”
Jan Smith
Menjelajahi pedalaman Papua, jangan lupa untuk menyinggahi Agats. Wilayah pemekaran Kabupaten Asmat ini menjadi salah satu tempat unik untuk dikunjungi. Selain itu, cerita mitos juga menarik untuk didengar.
Sejarah Kota Berlumpur
Nyaris seratus tahun yang lalu, terdapat seorang Pastor dari Belanda yang menjadi misionaris di pedalaman Asmat. Namanya Jan Smith dan beliau melakukan penyebaran Injil di suku primitive di sana.
Meskipun tantangannya berat, Jan Smith menghadapinya dengan sangat yakin akan pertolongan Tuhan. Namun malang, pastor tersebut terbunuh secara misterius,
Sebelum meninggal, pastor Smith membuat pernyataan yang oleh penduduk setempat dimaknai sebagai kutukan. Ia mengatakan bahwa wilayah pesisi selatan Papua ini akan basah dan menjadi rawa selamanya. Wilayah itu adalah Agats.
Wilayah Agats saat ini memang terlihat seperti apa yang diucapkan Jan Smith. Maka penduduk pun percaya bahwa Jan Smith lah yang menyebabkan kota ini berdiri di atas rawa.
Penduduk pun mengabadikan pastor Jan Smith dalam sebuah patung di pelabuhan kecil di sana. Meskipun tidak didewakan, namun penduduk percaya mitos tersebut sebagai penyebab terjadinya tanah berlumpur di pedalaman Asmat itu.
Terkait dengan penamaan, distrik yang dibangun untuk pos pemerintahan Belanda ini, nama awalnya adalah Akat yang dalam bahasa lokal berarti baik. Namun orang Belanda sulit mengucapkan “Akat” sehingga pelafalannya menjadi Agats.
Menyusuri Agats
Kota Agats adalah ibukota dari wilayah pemekaran baru Kabupaten Asmat. Kota ini berdekatan dengan wilayah Timika di Kabupaten Mimika.
Lebih mudah mencapai Agats dari kota Timika menggunakan kapal laut atau pesawat perintis. Agats memiliki penduduk sekitar 70.000 jiwa. Kota ini memegang peranan utama pada perekonomian Kabupaten Asmat.
Ada keunikan tersendiri yang dimiliki kota ini. Kondisi tanah berlumpur dan rawa membuat kota ini harus berdiri dengan sarana jalan yang berupa papan. Sekilas jalan ini akan menyerupai dermaga.
Seluruh jalan di kota ini menyerupai jembatan yang dibuat dari kayu besi. Namun seiring perkembangan jaman dan teknologi, jembatan-jembatan ini kemudian mulai disempurnakan dalam bentuk beton yang lebih kuat.
Hingga saat ini, pengembangan kota dilakukan di atas jalanan yang unik ini. Semua bangunan menyesuaikan dengan bentuk rumah-rumah panggung. Bahkan, alat transportasi utamanya adalah motor listrik.
Sarana Pemerintah vs Kerativitas Masyarakat
Keterbatasan pasokan air bersih memuat masyarakat hingga kini bertahan dengan air hujan yang ditampung di tabung-tabung air. Kondisi tanah rawa memang membuat tanah ini sulit menyediakan air bersih.
Maka tidak heran bila mandi menggunakan air tampungan ini terasa lebih licin dan sulit untuk membilas sabun yang digunakan. Namun demikian, kreatifitas masyarakat membuat mereka mampu terus bertahan dalam kondisi ini.
Namun demikian, sarana-prasarana dan infrastruktur kota Agats sudah cukup memadai. Pelabuhan, kantor pemerintahan, rumah sakit, pasar, kantor polisi, pos tentara, sekolah, bahkan Museum sudah terdapat di kota unik ini.
Penduduk pun dengan leluasa melakukan berbagai aktifitas dan sedikit demi sedikit mengembangkan usaha-usaha untuk menunjang kehidupan mereka. Toko-toko kebutuhan dan rumah makan banyak sekali buka di sepanjang kota Agats, umumnya dimiliki oleh para pendatang yang mencoba peruntungan di kota rawa ini.
Uniknya kota Agats sejalan dengan budaya dan daya tarik wisata yang dimilikinya. Museum dapat menjadi titik pertama yang dapat dikunjungi sebelum mempelajari kehidupan Asmat lebih lanjut. Berbagai informasi mengenai suku Asmat dan seputar kehidupan mereka dapat diketahui di Museum ini.
Para wisatawan dalam dan luar Indonesia pun sudah sangat sering mengunjungi museum yang cukup terawat ini. Tidak ada biaya yang dikenakan untuk memasuki Museum, hanya kesadaran para wisatawan saja untuk menyisihkan sedikit biaya bagi tambahan dana perawatan dan operasional Museum ini.
Selain itu, tidak jauh dari pusat kota Agats, terdapat sebuah desa tradisional bernama Syuru. Di desa ini berbagai kebudayaan khas Asmat pun dapat kita lihat secara langsung.
Mulai rumah bujang “Jew” hingga ukiran-ukiran kebanggaan Asmat dapat kita saksikan prosesnya di desa ini. Desa Syuru dapat menjadi titik awal untuk mempelajari berbagai kebudayaan Asmat sebelum masuk langsung ke wilayah pedalaman lain seperti Sawaerma atau Asuwetsy. Kota Agats seakan menjadi mukadimah sebelum memulai petualangan lebih jauh lagi untuk mengenal keberadaan suku Asmat di bumi Papua.
Keberadaan kota Agats adalah sebuah bukti kegigihan perjuangan para penduduknya. Inilah Agats, sebuah kota di atas papan yang selalu tampil menawan. Dalam berbagai keterbatasannya, kota ini terus berdiri dan justru mengembangkan diri ke arah yang semakin baik.
Penulis: Rahma Roshadi