Kegaduhan dan riak politik identitas sudah mulai terasa menjelang Pemilu dan Pilkada pada 2024. Indonesia pernah mencatat pengalaman buruk pada 2017 lalu, di mana politik identitas telah menggiring opini pada Pilkada DKI. Bagaimana dengan tahun politik kali ini?
Politik identitas bukanlah hal yang baik untuk negara seperti Indonesia. Negara ini tidak pernah terlahir seragam dari Sabang sampai Merauke nya. Maka iklim politik semacam ini seharusnya bisa dicegah agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Diskusi terkait politik identitas ini mencuat, salah satunya di Bandung melalui forum diskusi lintas iman yang digagas PAGUNEMAN (Pemuka Agama untuk Toleransi dan Keberagaman). Hadir beberapa organisasi di antaranya Perempuan Ahmadiyah Bandung, MLKI Jawa Barat, Fatimiyyah IJABI, Masyarakat Baha’i Bandung, PGIW Jawa Barat, PERUATI Priangan, GKI Maulana Yusuf, RSCJ – Katolik, MAKIN Bandung, UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan FLADS.
Perempuan Ahmadiyah pada Diskusi PAGUNEMAN
Bandung, dan Jawa Barat pada umumnya, masih tercatat sebagai salah satu zona intoleran di Indonesia. Permasalahan pendirian gereja menjamur di Kabupaten Bandung, menyusul peristiwa ledakan bom bunuh diri di Kantor Kepolisian Sektor Astanaanyar baru-baru ini.
Peryataan Presiden Jokowi melalui Rakornas Forkompinda Pada 17 Januari 2023 lalu sejenak memberikan angin segar. Presiden menegaskan bahwa tindakan pelarangan pendirian rumah ibadah adalah bentuk pengingkaran terhadap amanat konstitusi UUD tahun 1945.
Peran Anak Muda, Pemuka Agama dan Pimpinan Organisasi Keagamaan
Pandemi membawa gelombang dukungan kepada keberagaman melalui media sosial. Tak sedikit terlihat kampanye menggaungkan pesn toleransi pada keberagaman. Bahkan, komunitas keberagaman pun terlihat banyak terbentuk. Namun ketika pandemi (dinyatakan) berakhir, apakah gerakan tersebut seketika menjadi nyata?
Faktanya, aksi intoleransi selama ini hanya sejenak menahan diri. Ketika aktivitas kembali normal, ancaman diskriminasi tersebut kembali muncul. Anak muda, komunitas lintas iman dan pemimpin organisasi keagamaan yang banyak berkiprah di dunia maya, seharusnya bisa menampilkan opini dan kerja serupa di dunia nyata.
Menggaris bawahi politik identitas, komponen masyarakat tersebut juga harus sangat berperan dalam memberikan edukasi hingga kontirubusi konkret mencegah tindak intoleransi menjelang pilkada dan pemilu 2024.
Penguatan Moderasi Beragama
Para pemuka agama dan tokoh organisasi keagamaan adalah kunci dalam penguatan moderasi beragama. Mereka adalah sosok yang mendapat “kepercayaan” dari anggota organisasinya. Maka mereka juga lah yang harus menjadi contoh, bagaimana seharusnya agama menjadi “way of life”, yang salah satu tujuannya adalah menciptakan perdamaian di masyarakat hingga tingkat dunia.
Masalah toleransi beragama di Indonesia yang sangat dinamis membutuhkan moderasi yang kasuistis. Maka, strategi implementasi penguatan moderasi beragama menjadi penting sebagai upaya menangkal tumbuh suburnya politik identitas dan hal tersebut bisa dimulai dari dalam diri sebuah organisasi keagamaan.
Kita tahu, bahwa gesekan bukan hanya terjadi antar agama yang berbeda. Namun pada agama yang sama tetapi berbeda organisasi pun terkadang timbul perselisihan paham. Pucuk pimpinan lah dalam hal ini yang harus berfungsi sebagai peredam.
Dari segi hukum formal, penguatan moderasi beragama memiliki landasan hukum yang kuat. UUD 1945 menetapkan kewajiban negara untuk menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan tersebut. Perlindungan hukum terhadap kebebasan beragama juga secara khusus disebutkan dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999.
Kewajiban Warga Negara VS Hak Berkeyakinan
Indonesia adalah negara berdaulat. Konstitusi mengikat setiap warga negaranya untuk patuh namun setara di mata hukum. Di sisi lain, masyarakat Indonesia sangat religius dan juga sangat taat pada ajaran agamanya masing-masing.
Hal ini menjadi salah satu keunikan Indonesia, ketika ada masanya sebuah urusan diselesaikan dengan hukum sambil tetap mengedepankan nilai-nilai kebaikan dan keadilan sesuai ajaran agama. Hampir tidak ada urusan yang tidak terkait dengan agama atau tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, termasuk keputusan politik dan pemilihan pemimpin.
Namun, semua harus tahu dan paham bahwa Indonesia bukanlah negara yang mendasarkan ideologinya pada agama tertentu. Karena kekhasan ini, setiap warga negara dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan antara hak berkeyakinan di satu pihak dan kewajiban memenuhi kewajiban negara di pihak lain.
Vaksin Virus Demokrasi
Dalam perkembangannya, politik identitas telah menjadi virus baru dalam demokrasi Indonesia. Vaksin yang tepat juga harus diterapkan sesuai dosis. Dosis terendah adalah edukasi yang bisa diambil perannya oleh anak muda melalui sosial media atau para pemimpin organisasi kepada para anggotanya.
Dosis berikutnya adalah skala menengah. Dalam hal ini,elemen masyarakat perlu bergerak memberikan rasa aman dan menciptakan perdamaian di lingkungannya. Sangat tidak masuk akal ketika iklim intoleransi justru dipicu oleh aparat keamanan atau malah pemerintah tingkat daerah.
Sebagai contoh, SKB 3 Menteri untuk Ahmadiyah telah membuat pemerintah daerah berlomba-lomba membuat aturan turunan yang menjadi “legalitas” tindak intoleransi kepada para pengikut Jemaat Ahmadiyah.
Negara dan pemerintahnya seharusnya lebih kuat dari rakyatnya, dalam konteks penerapan aturan yang menciptakan iklim kondusif. Karena hal ini bisa menjadi vaksin tertinggi, manakala pihak intoleran merangsek melakukan tindakan inkonstitusi, negara harus berani mengambil tindakan tegas atas nama konstitusi.
Moderasi beragama dapat diartikan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemashalatan umum.
Politik identitas tidak boleh dibiarkan menjadi virus baru dalam demokrasi. Penguatan moderasi beragama diharapkan menjadi vaksin yang ampuh dalam melawan virus demokrasi kita. Selain itu, kolaborasi seluruh elemen masyarakat dalam menyebarkan paham agama yang moderat akan menjadi faktor utama dalam menciptakan kerukunan beragama di Indonesia.
Demikian halnya ujung diskusi pada forum di Bandung ini, yang salah satunya merumuskan bahwa setiap elemen, mulai dari anak muda hingga pemuka agama, harus berkolaborasi mendapatkan pemahaman tentang peta intoleransi dan merumuskan strategi yang responsif untuk situasi politik terkini.