Kota Depok memberikan pemandangan berbeda pada Selasa, 29 November 2022 lalu. Masjid Al-Hidayah, yang sampai saat ini masih menyimpan luka karena penyegelan oleh pemerintah kota setempat, “membalas” serangan dengan bahasa cinta. Pembatasan aktivitas, tidak menyurutkan semangat membangun inklusivitas.
Pagi itu, terlihat hiruk pikuk di sekitar masjid yang akan menggelar acara diskusi dalam rangkaian kegiatan memperingati Hari Toleransi Internasional. Acara Ini digagas oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia bekerja sama dengan beberapa lembaga.
Tampak hadir di acara tersebut para kolaborator yaitu: Setara institute, Yayasan Satu Keadilan (YSK). LBHI, FKUB Jateng, Pelita Semarang, Generasi Muda (GEMA) FKUB Jateng dan FKUB Depok. Mereka bergabung dan mengusung tema “Inklusi Sebagai Titik Temu Dalam Menjaga Keberagaman Indonesia”.
Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar syahdu menandai pembukaan acara. Dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua JAI Depok dan Ketua Pelaksana Acara. Keduanya memberikan pesan senada tentang sikap terbuka dalam beragama dan bernegara.
Sambung-menyambung para hadirin memberikan pengalamannya dalam membangun atmosfer inklusi di daerahnya, sesuai perannya masing-masing. Tak terkecuali, JAI yang selama ini selalu membuka ruang diskusi, bahkan pintu masjidnya untuk menjadi tempat diskusi organisasi lintas iman.
Sebuah titik temu yang menarik. Terutama ketika mencari sudut pandang keberagaman dan keberagamaan pada acara tersebut.
Mengenal Islam Inklusif
Agama Islam diturunkan melalui Rasulullah saw, pada dasarnya sebagai sebuah pedoman yang sudah inklusif. Bagaimana tidak? Islam diturunkan sebagai agama rahmatan lil alamiin. Rahmat bagi seluruh alam.
Menyelami kata “seluruh alam” yang digunakan, sangat memberikan arti bahwa agama ini tidak tertutup hanya untuk memuliakan penganutnya saja, tidak sekadar membahagiakan pemeluknya saja, tetapi juga bagi seluruh alam terlepas dari latar belakangnya.
Yang dimaksud dengan rahmat bagi seluruh alam adalah Islam yang memberikan kemanfaatan, cinta dan kasih sayang, serta panduan untuk menjalin silaturahmi antar-sesama manusia. Maka sangat jelas bahwa agama ini diturunkan untuk memberikan warna bahagia bagi siapapun.
Rasanya, hal ini bisa menjadi dasar bahwa Islam sejak awal adalah agama yang terbuka (inklusif). Inklusivitas agama ini bukan hanya bisa memahami perbedaan, tetapi juga menerima dan menghormati perbedaan sebagai sebuah fitrah.
Islam menegaskan penciptaan manusia yang berbeda bangsa dan suku, yang tujuannya tidak lain untuk saling mengenal dan membantu satu sama lain. Islam pun memberikan spirit kemanusiaan tanpa harus melihat latar belakang identitas, khususnya agama.
Lebih jauh lagi, kecenderungan untuk mengotak-kotakkan Islam sebagai kelompok yang tertutup, justru menjadi sinyal bahaya, karena akan menyebabkan pengikutnya terisolasi dari dunia luar. Alhasil, kelompok yang eksklusif hanya akan membawa Islam kepada kemunduran dan terpisah dari umat manusia yang lain.
Meskipun memiliki akidah yang sangat harus diyakini dalam hati dan dijalankan dalam keseharian, bukan berarti seorang muslim harus merasa “paling” segalanya. Perasaan “paling” inilah yang menjadi bibit-bibit ekslusivisme, yang pada akhirnya hanya akan mengarahkan kepada tindak radikalisme berkedok agama Islam.
Islam tidak pernah melarang penganutnya untuk membaur di ranah sosial, politik, dan kebudayaan, meskipun pada ranah keyakinan dan teologis tetap meyakini Islam sebagai keyakinan yang benar. Dengan sikap inklusivitas yang demikian sederhana, maka upaya menciptakan iklim toleransi sebenarnya “sudah selesai”.
Inklusivitas Agama dan Keberagamaan
Banyak kajian yang bisa diangkat bersamaan, jika memang iklim toleransi belum juga tercipta di bumi Indonesia. Kita perlu membedah makna agama dan keberagamaan. Hal pertama adalah terkait doktrin, sedangkan kata kedua adalah aspek sosiologis.
Doktrin adalah penyikapan berdasarkan keyakinan. Maka agama sebagai doktrin tentu tidak bisa diganggu gugat. Siapapun bisa dan boleh mengatakan “keyakinan saya paling benar” atas dasar ajaran doktriner. Mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Namun, hal itu akan menjadi relative ketika sudut pandangnya bergeser ke arah religiousity (keberagamaan) yang melihat dari aspek sosial. Bahwa sebenar apapun keyakinan kita genggam, ada orang lain yang berdampingan dan mengatakan hal serupa.
Agama sebagai doktrin adalah kodifikasi hukum Tuhan yang telah baku, sementara keberagamaan adalah kualitas atau sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai agama yang diyakini. Dalam konteks keberagamaan inilah nantinya akan muncul keragaman pandangan dan faham keagamaan. Tingkat keragaman dalam beragama yang bahkan muncul pada agama yang sama. Meski demikian, keduanya harus seimbang karena tidak bisa dipisahkan.
Jika keduanya seimbang, maka sangat mudah menjawab pertanyaan, “bagaimana orang dengan keyakinan berbeda bisa saling hidup berdampingan?”. Tentu saja, karena kodifikasi aturan kebaikan dari Tuhan, harus terlihat dalam keseharian ketika orang tersebut membaur dengan manusia lainnya tanpa kecuali. Agama-keberagamaan.