By: Mln. Ali Mukhsin, Banjarnegara – Jawa Tengah.
Bahkan, barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhan-nya, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita.
(Qs. Al-Baqarah, 2:113).
Dalam agama Islam, seorang Muhsin memiliki kedudukan yang tinggi dalam pandangan Allah. Muhsinun dalam bahasa Arab berasal dari kata Ahsan yang berarti ‘Terbaik’. Khazanah keruhanian dalam Islam menuntut seseorang tidak hanya berhenti pada klaim muslim dan mukmin saja melainkan ia harus melanjutkan perjalanan spiritualnya, menumbuh suburkan keimanan dengan perbuatan baik yang dikenal sebagai amal sholeh. Itulah mengapa Kitab Suci Al-Qur’an selalunya menyatukan kata iman dan amal sholeh, sebagai sarana yang harus ditempuh setiap muslim untuk meraih surga Allah Ta’ala, sebuah nikmat mulia yang digambarkan sebagai kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
Penjelasan lebih lanjut tentang Muhsinun kita dapati dalam Al-Quran Karim, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
بلى من اسلم وجهه للهِ و هو محسنٌ فله اجره عند ربّه
ولا خوفٌ عليهم ولا هم يحزنون
“Bahkan, barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhan-nya, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita” (Qs. Al-Baqarah, 2:113).
Firman Allah swt tersebut menggambarkan alur perjalanan spiritual yang sempurna. Dimana seseorang dituntut untuk tidak hanya menjadi muslim -yakni menyerahkan dirinya, tunduk pada hukum serta iradah Allah swt- saja, tetapi juga perlu menjadi muhsin -yaitu senantiasa berbuat kebaikan, yang karenanya kemudian ia layak mendapatkan pahala dari Allah swt serta kedekatan dan perlindungan-Nya.
Banyak kisah tentang bagaimana Allah Ta’ala demikian ‘tersentuh’ iradah-Nya untuk mengaruniakan perlindungan dan pertolongan kepada hamba-hambaNya yang muhsin. Diantaranya kita dapati satu kisah bahwa satu waktu ada seorang Yahudi mengatakan kepada seseorang, katanya “Saya akan mengajarkan sihir kepada engkau. Syaratnya engkau tidak boleh berbuat kebaikan.” Sampai saat ketika jumlah hari yang ditetapkan telah terpenuhi, sedangkan orang yang tadi diberi ilmu oleh seorang Yahudi tidak juga bisa melakukan sihir. Maka orang Yahudi tersebut mengatakan, “Dalam hari-hari ini pasti ada kebaikan yang telah engkau lakukan?”. Orang itu berkata, “Saya tidak ada melakukan pekerjaan baik, kecuali memungut duri dari tengah jalan.” Orang Yahudi itu berkata, “Nah, itulah yang menyebabkan engkau tidak bisa mempelajari sihir.” Atas pernyataan seorang Yahudi tersebut maka orang itu pun mengatakan: “Betapa besarnya kasih-sayang Allah Ta’ala. Yakni, sebagai balasan dari suatu perbuatan baik yang kecil sekali pun, Dia telah menghindarkan saya dari dosa besar.”[1]
Jadi, demikianlah kasih sayang Allah Ta’ala kepada hambaNya bahwa hanya karena kebaikan kecil itu yakni memungut duri di tengah jalan, seseorang bisa terhindar dari suatu perbuatan dosa yang demikian membahayakan[2]. Kisah masyhur lainnya kita dapati dari riwayat hadits di mana dikisahkan ada tiga orang yang terperangkap dalam gua di sebuah gunung, karena batu besar yang jatuh menutupi pintu gua. Yang konon kemudian, ketiga orang itu selamat karena amal-amal baik mereka di masa lalu.
Seorang di antara mereka mengatakan, “Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua dari pada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh, Ketika aku pulang ternyata mereka beruda telah terlelap tidur. Aku memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga ataupun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka baru bangun Ketika subuh, dan gelas minuman itu masih di tanganku. Kemudian setelah keduanya bangun lalu mereka meminum susu tersebut. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan demikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Batu besar itupun tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari gua.
Kemudian, orang yang kedua juga memaparkan kisah kebaikannya. Dan setelah itu dia berdoa: “Ya Allah, jika Engkau menyukai kebaikan saya itu, maka mudahkanlah kesulitan saya.” Lantas batu tersebut pun bergeser sedikit lagi. Dan tiba giliran orang yang ketiga pun menyampaikan kisah kebaikannya dan bermunajat. Maka batu tersebut bergeser lagi, sehingga ketiga-tiganya dapat keluar dari gua[3].
Kedua kisah tadi menjadi gambaran nyata dari keberkatan seorang muhsin, bahwa Allah Ta’ala akan hadir kepada mereka dengan jalan yang demikian istimewa dan menunjukan kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan yang senantiasa mereka lakukan itu, tidak akan pernah disia-siakanNya. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kita kemampuan untuk senantiasa berbuat kebaikan dan istiqamah di dalamnya, yang karena itu menjadi sebab bagi kita untuk mendapatkan pahala, pertolongan serta kedekatan dengan-Nya. Aamiin.
[1] Malfuzat. Jilid VI, hal. 24-27.
[2] Dari Abu Hurairah dari Nabi saw beliau bersabda: Jauhilah tujuh dosa yang membahayakan! Mereka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apakah itu?”. Beliau menjawab; “Syirik kepada Allah, Sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, beriman, dan yang bersih dari zina”. (HR. Bukhari, no 3456; Muslim no 2669)
[3] Muttafaqun ‘alaihi. HR. Bukhari no 2272 dan Muslim no 2743