“Ketika Penulis menyebutkan nama Hamzah Salatalohy dan Aluddin Salatalohy, Isti nampak lebih kaget lagi. Dengan malu-malu, customer service Bank Mandiri Passo yang sebelumnya pernah ditugaskan di Cabang Pasar Mardika, Batu Merah, Ambon itu mengatakan, bahwa Aluddin Salatalohy itu merupakan ayahnya. Sedangkan Hamzah Salatalohy adalah kakeknya. Foto pertemuan antara Penulis dengan Hamzah Salatalohy dan Aluddin Salatalohy pun diperlihatkan kepada dia.”
Ketika ditugaskan di Jawa, Penulis belum merasakan perlunya menguasai wawasan Etnografi dan Antropologi. Baik itu saat ditugaskan di Salatiga (Jawa Tengah, 2003-2005), Bogor (Jawa Barat, 2005-2017) dan Kebayoran (DKI Jakarta, 2017-2018). Namun, setelah ditugaskan sebagai Mubalig Daerah Maluku di Ambon dan sering melakukan kunjungan ke berbagai pelosok pedalaman, keperluan akan Etnografi dan Antropologi baru dirasakan.
Begitu mendapati bahwa di kalangan internal Jemaat ada anggota yang memiliki nama-nama marga, maka keinginan untuk memperdalam dan mengembangkan Etnografi dan Antropologi pun semakin meningkat. Sebut saja, marga Lausepa, marga Rolobesy, marga Tatuhey dan lainnya. Bahkan saat dipindahtugaskan ke Daerah Papua Barat, ternyata lebih banyak nama marga/suku lagi yang dikenal.
Ketika ditugaskan di Maluku, untuk kepentingan pemetaan (mapping), Penulis sering melakukan kunjungan ke lokasi pedalaman atau negeri-negeri adat. Sebut saja ke Negeri Kaitetu, Hitu, Wakal, Mamala, Morela di Kecamatan Hitu. Lalu, ke Negeri Tulehu, Negeri Tenga-tenga, Negeri Ti’al di Kecamatan Salahutu. Kedua Kecamatan itu berada di Kabupaten Maluku Tengah, meskipun secara geografis berada di Pulau Ambon.
Penulis juga sering mengunjungi Pulau Buru, baik di Kabupaten Buru maupun Kabupaten Buru Selatan. Kampung Silewa, Kampung Widit, Kampung Waesama dan sekitarnya hingga Kampung Walafau yang berada di pelosok Buru Selatan. Desa Sole di Pulau Kelang, Kecamatan Waesala Belakang, Kab. Seram Bagian Barat juga telah dikunjungi.
Begitu juga yang ada di Pulau Seram, di Kab. Maluku Tengah dan Kab. Seram Bagian Timur. Di antaranya di Negeri Tamilouw, Negeri Haya, Negeri Tehoru, Kampung Balakeu, Kampung Nayaba. Untuk yang di Pulau Saparua, Penulis juga sudah mengunjungi beberapa Negeri. Di antaranya Negeri Haria, Negeri Porto, Negeri Siri-Sori Serani, Negeri Siri-Sori Islam.
Untuk di Kabupaten Seram Timur, beberapa Negeri di perbatasan Sungai Bobot juga telah dikunjungi: Negeri Bemo, Negeri Bemo Perak, Negeri Werinama dan Negeri Hatuasa. Kesemuanya memberikan kesan tersendiri dan selalu terkait dengan Etnografi.
Penulis juga beberapa kali mengunjungi Kabupaten Kepulauan Aru, tepatnya di Dobo. Praktis, dari 11 Kabupaten-Kota di Maluku, hanya tinggal dua Kabupaten yang belum dikunjungi. Kedua Kabupaten itu adalah Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Pasalnya, sarana transportasi ke dua kabupaten tersebut terbilang cukup sulit dan tidak setiap saat ada. Terkadang harus menunggu dua minggu untuk jadwal kapal atau pesawat perintis yang menuju kesana.
Sedangkan untuk di Daerah Papua Barat, Penulis juga sudah mengunjungi beberapa Kampung. Kampung-kampung itu berada di Kabupaten Manokwari, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Maybrat, Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Teluk Bintuni. Sedangkan untuk di Kabupaten Fak Fak, baru sekali dikunjungi. Ada empat Kabupaten lagi yang juga belum dikunjungi: Kab. Teluk Wondama, Kab. Pegunungan Arfak (Pegaf), Kab. Tambrauw dan Kab. Raja Ampat.
Dari semua tempat dan lokasi yang dikunjungi tersebut, peranan wawasan Etnografi dan Antropologi cukup berperan dan signifikan. Kolaborasi dengan wawasan Sejarah dan Arkeologi serta Filologi, terkadang pintu masuk ke lokasi pun terbilang sangat mudah. Oleh sebab itu tidak mengherankan, apabila di Maluku dan di Papua Barat, Penulis dengan segera dikenal sebagai Pakar Sejarah Islam, Filologi dan Kodikologi sekaligus Etnografi dan Antropologi untuk Maluku dan Papua serta Papua Barat.
Keuntungan Mengenal Nama Marga Di Maluku Dan Papua Barat
Salah satu keuntungan mengenal nama marga adalah seperti telah dituliskan pada bagian awal tulisan ini. Hanya dengan mengenal nama marga (familinam), maka asal tempat serta hubungannya dengan orang lainnya dapat ditelusuri. Bahkan untuk suatu kasus tertentu, ternyata mereka memiliki hubungan keluarga yang erat. Beberapa peristiwa nyata berikut ini menjadi buktinya.
Peristiwa pertama, ini terjadi pada 10 April 2019. Setelah sarapan pagi bubur ayam “Bandung” di Waiheru, Penulis pun bermaksud menarik uang di ATM di depan warung itu. Sayangnya, ternyata ada kendala. Meskipun proses pen-debet-an telah terjadi, namun uang tidak keluar. Setelah agak panik sebentar, karena nominal uang yang ditarik lumayan besar, akhirnya Penulis pun menelpon customer service Bank Mandiri. Setelah selesai, rencananya besok paginya akan datang ke Kantor Cabang Bank Mandiri di dekat rumah, yaitu di Jl. M. Putuhena, Wayame, Kec. Teluk Ambon.
Namun, karena ada agenda lain ke Negeri Tulehu, rencana itupun tidak terlaksana. Dua hari kemudian barulah Penulis berangkat untuk mengurusnya secara manual. Tetapi, ternyata kendaraan lewat hingga ke Passo. Penulis pun kemudian turun dan menuju Kantor Cabang Bank Mandiri di Passo. Saat bertemu customer service, pada name tag tertulis nama, “Isti Salatalohy”. Secara spontan Penulis langsung menyebut nama Negeri Siri-Sori Islam di Kec. Saparua Timur, Kab. Maluku Tengah.
Ternyata, Isti –nama lengkapnya Istiqomah Salatalohy—memang berasal dari Siri-Sori Islam. Ketika Penulis menyebutkan nama Hamzah Salatalohy dan Aluddin Salatalohy, Isti nampak lebih kaget lagi. Dengan malu-malu, customer service Bank Mandiri Passo yang sebelumnya pernah ditugaskan di Cabang Pasar Mardika, Batu Merah, Ambon itu mengatakan, bahwa Aluddin Salatalohy itu merupakan ayahnya. Sedangkan Hamzah Salatalohy adalah kakeknya. Foto pertemuan antara Penulis dengan Hamzah Salatalohy dan Aluddin Salatalohy pun diperlihatkan kepada dia.
Peristiwa kedua, ini terjadi pada 24 Mei 2022. Saat menumpang KM Ciremai dalam perjalan kembali dari Program Muhibah Bahari (Tablig Tol Laut ke Jayapura, Provinsi Papua), tidak sengaja di kapal yang akan sandar di Pulau Biak berjumpa dengan seorang yang kemudian diketahui bernama Freddy Aritonang. Ketika yang bersangkutan menceritakan pernah di SP 4 Prafi, maka dengan segera Penulis menghubungi seseorang di Prafi yang adalah Perintis Istimewa dari Saksi-Saksi Yehuwa (SSY). Foto Freddy Aritonang pun dikirimkan via WA.
Sahala Nainggolan, nama Perintis Istimewa Saksi-Saksi Yehuwa tersebut langsung kaget dan menyampaikan, bahwa orang itu adalah pamannya. “Kami memanggilnya dengan sebutan Bolsom,” kata dia. Sahala juga menyebutkan nama ketiga anak dari Bolsom itu, yaitu Ronald, Ramses dan Reinhard. Ketika dikonfirmasi ketiga nama putranya tersebut, Bolsom tampak kaget sekali. “Bapak tahu darimana ketiga nama anak saya tersebut?”
Peristiwa ketiga, ini terjadi pada 9 Juli 2022. Saat Penulis sekeluarga menumpang KM Labobar dari Manokwari ke Kota Sorong dalam rangka kunjungan dinas, ternyata di ruang yang sama bertemu dengan seorang guru PAUD asal Serui yang akan ke Kota Sorong untuk mengambil ijazah S-1. Namun, dinihari itu terjadi peristiwa yang mengejutkan, karena Jenny –nama perempuan muda itu—mendadak menangis histeris yang mengagetkan semua penumpang.
Usut punya usut, ternyata ibunya yang di Sorong baru saja meninggal. Setelah lama, tangisnya baru reda. Akhirnya beberapa orang pun mencoba menghiburnya. Termasuk Wakil Ketua LI Daerah Papua & Papua Barat yang adalah istri Penulis juga berusaha memberikan penghiburan. Setelah lumayan agak normal kembali dari histerisnya, barulah diketahui bahwa nama lengkapnya adalah Jenny Horota Tuasela.
Penulis pun menjadi kaget dan teringat sesuatu. Nama marga Horota dan Tuasela, tidak asing lagi. Artinya, Jenny merupakan keturunan dari orang asli Papua dan Ambon sekaligus alias pernikahan antar etnis. Horota adalah nama marga dari Papua, tepatnya di Serui, sedangkan Tuasela merupakan nama salah satu marga di Negeri Waai, Kec. Salahutu, Kab. Maluku Tengah. Penulis pun mengenal baik salah seorang yang berasal dari marga Tuasela, yaitu Ibu Von Tuasela.
Jenny nampak terkejut ketika disebutkan nama Ibu Von Tuasela. Dia langsung mengatakan, bahwa Ibu Von adalah neneknya. Penulis kemudian menyebutkan nama-nama lain dari keluarga Ibu Von Tuasela. Ternyata, Ibu dari Jenny merupakan anak kedua dari Ibu Von Tuasela. Sedangkan menantu dari Ibu Von, di antaranya adalah Simon Reawaruw, yang kini berdinas sebagai intelijen di Kodim Bogor, Jawa Barat.
Kerugian Bila Tidak Memahami Etnografi Dan Antropologi Lokal
Ketiga peristiwa nyata tersebut, adalah sebagian kecil saja yang perlu diungkapkan. Meskipun ini peristiwa paling sederhana, tetapi telah membuka hubungan yang lebih akrab lagi. Terkait dengan rabtah dan pertabligan, biasanya hubungan kekerabatan yang telah diungkapkan, akan memberikan pengaruh yang cukup besar. Apalagi bila kita dianggap sebagai orang yang memahami Sejarah, Etnografi dan Antropologi setempat, maka kemungkinan kita akan dijadikan sebagai semacam konsultan.
Artikel terkait: Perlukah Etnografi dan Antropologi Rabtah
Penulis beberapa kali diminta untuk menjadi narasumber seminar terkait hal ini. Bahkan beberapa di antaranya adalah seminar bertaraf internasional. Ini karena Penulis telah dianggap sebagai pakar untuk bidang kajian tertentu, seperti Sejarah Islam di Maluku dan Papua Barat, Filologi dan Kodikologi dan Etnografi serta Antropologi. Selain sebagai tanggung jawab keilmuan, juga dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk rabtah dan tablig kepada berbagai kalangan.
Bahkan, Penulis juga pernah diminta untuk menulis buku induk (babon) mengenai “Tradisi Pela Gandong di Maluku sebagai Perekat Perdamaian Dunia” yang rencananya akan diterbitkan sebanyak 2 ribu halaman. Begitu juga Penulis pernah diminta sebagai pemberi kata pengantar atas buku berjudul “13 Tradisi Suku di Pulau Buru yang Mirip dengan Tradisi Yahudi”. Ini karena mereka mengakui bahwa Penulis adalah orang yang memiliki wawasan yang tepat dan dapat diandalkan mengenai tema-tema terkait Etnografi tersebut.
Namun, apabila ada keuntungan, berkebalikannya, tentu saja akan ada kerugian bagi yang belum memahami Etnografi dan Antropologi ini. Bahkan, untuk kasus tertentu, ada juga yang menjadi kerugian besar. Disebut kerugian besar, karena dengan melakukan hal sepele –yang sebelumnya tidak dipahami bahwa itu merupakan pelanggaran adat setempat— maka kita terkena denda adat. Beberapa kali ini terjadi dan menimpa Mubalig Ahmadiyah di beberapa tempat.
Khususnya di Maluku dan Papua Barat, denda adat ini mudah sekali terjadi. Menabrak orang asli Papua, menabrak hewan piaraan (babi atau anjing), menebang pepohonan atau memasuki lokasi yang dianggap sakral, semua itu akan terkena denda adat. Dan, denda adat di Maluku atau Papua Barat, lumayan mahal. Ini tergantung dari, misalnya bila kita menabrak babi atau anjing, maka akan berlaku hitung puting (susu). Bila ada delapan, maka tinggal dikali Rp 2 jutaan atau lebih.
Penulis: Mln. DR. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Muballigh Daerah Papua Barat)