“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneka rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.”
(Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma, Pupuh 139, Bait 5)
Bendera Merah putih itu berkibar dengan gagahnya. Hembusan angin kencang membuatnya melambai-lambai dengan mantap. Tiga anak kecil berseragam sekolah dasar berdiri di bawah tiang bendera itu. Merekalah yang mengerek bendera kebangsaan Indonesia itu. Wajah-wajah mungil itu tampak sumringah, bendera itu berkibar dengan gagah. Petugas dirijen –atau disini dikenal sebagai palu– dengan semangat memimpin lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.
Itu adalah sekilas pemandangan pada saat Upacara Bendera tiap hari Senin yang dilaksanakan oleh sekolah. Upacara itu bukan di Istana Negara Merdeka Jakarta atau di Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Barat ataupun Kantor Pemerintahan Kabupaten Manokwari. Upacara itu juga bukan dihelat oleh orang orang profesional. Namun semangat nasionalisme dan patriotisme mereka –anak-anak sekolah dasar yang masih polos itu– layak diacungi jempol.
SD Inpres 16 Arfai, Manokwari, Papua Barat, secara rutin melaksanakan Upacara Bendera tiap hari Senin. Begitu juga pada Senin, 8 Agustus 2022 itu, Upacara Bendera pun kembali dilaksanakan. Meski dengan sederhana dan sesuai kemampuan siswa sekolah dasar yang belum dewasa, namun Upacara Bendera itu terasa khidmat. Rasa nasionalisme dan patriotisme membuncah di dalam dada saat Bendera Merah Putih berkibar dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya berkumandang memecah keheningan suasana pagi.
Peserta Upacara Bendera itu terdiri dari siswa yang berasal dari daerah dan suku yang berbeda-beda. Selain orang asli Papua (OAP), ada juga yang berasal dari Jawa (Suku Jawa dan Suku Sunda), dari Sulawesi (Suku Bugis dan Buton), Suku Timor, Suku Minang dan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Secara prinsip, SD Inpres 16 Arfai telah menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika!
Peraih Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila 2021
Di antara ratusan siswa SD Inpres 16 Arfai Manokwari itu, terlihat juga sesosok berseragam sekolah dasar mengenakan kerudung putih. Sosok gadis mungil itu berdiri di barisan peserta upacara yang jumlahnya ratusan siswa. Sekilas, nampak sulit untuk mengenali dan membedakannya dengan yang lain. Namun, di banjar yang ketiga itu hanya satu orang yang mengenakan kerudung. Dialah Mubareeka Khakhema Jumaan, putri bungsu Peraih Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) 2021.
Pada 10 November 2021 lalu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Jakarta menganugerahkan Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila (atau disebut Ikon Pancasila) kepada sebanyak 76 orang yang dianggap berprestasi dan memberikan manfaat untuk masyarakat, terutama secara Nasional. BPIP RI membagi menjadi lima kategori: Olahraga, Sains dan Inovasi, Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan, Seni dan Budaya dan Penggerak Lintas Iman.
Salah satu penerima Apresiasi Prestasi Pancasila tersebut adalah Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan asal Manokwari, Papua Barat. Kiprahnya dalam dunia literasi dan edukasi saat di Maluku, telah diapresiasi oleh BPIP RI. Pendiri Rumah Baca “Hiti-Hiti Hala-Hala” Ambon, Maluku itu aktif dalam literasi dasar dan mencerdaskan masyarakat terutama di pelosok pedalaman Maluku. Begitu juga, Ikon Pancasila 2021 Kategori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan itu juga sering memberikan edukasi terkait sejarah dan tradisi lokal.
Peristiwa “Arfai” dan Kiprah Prajurit ABRI/TNI
Arfai, tentu tidak setiap orang di Indonesia pernah mendengar namanya. Salah satu lokasi di Manokwari, Papua Barat ini termasuk daerah yang sedang berkembang. Padahal, Arfai sebelumnya adalah kawasan hutan dan perbukitan. Di Arfai inilah kini terdapat markas Komando Daerah Militer (KODAM) XVIII/Kasuari dan Sekolah Persiapan Guru Jemaat (SPGJ). Keduanya beralamat di Jalan Trikora. Di kawasan Arfai ini juga, kini berlokasi Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Barat, termasuk Kantor Gubernur.
Ini menunjukkan, bahwa saat ini Arfai memiliki arti strategis dari segi Pemerintahan, Pertahanan dan juga Keruhanian. Istilah Satu Tungku Tiga Batu –yang populer di Fak Fak dan di lokasi lain di Maluku—juga prakteknya terdapat di Arfai. Tokoh Pemerintahan, Tokoh Agama dan Tokoh Adat bersinergi dalam mencapai tujuan bersama.
Arfai juga dikenal dalam sejarah Indonesia karena disinilah terjadi apa yang disebut sebagai “Insiden Arfai”. Pada 28 Juli 1965, Permenas Awom atau Ferry Awom menyerang asrama Yonif 641/Cendrawasih (Yonif 751, 753) di Arfai, Manokwari. Ferry Awom merupakan mantan sersan Papoea Vrijwilligers Korps (PVK, 21 Februari 1961 – Mei 1963) atau Korps Relawan Papua bentukan Belanda. Peristiwa yang terjadi pada pkl. 04:30 WIT dinihari itu terbilang sangat mendadak.
Selain menggunakan senjata api, mereka juga menggunakan parang dan tombak serta panah. Tiga orang personel Yonif 641 gugur, sedangkan empat lainnya luka-luka. Satu pucuk senapan mesin dan senjata otomatis jatuh ke tangan Ferry Awom dan kelompoknya. Dari kelompok Ferry Awom sendiri ada 36 orang yang tewas dan banyak yang luka-luka. Mereka kemudian bergerak mundur ke basis mereka di Warmare dan Prafi.
Untuk memadamkan perlawanan tersebut, dilakukan Operasi Wibawa I di Manokwari, Papua Barat, Februari 1969. Tercatat, aparat TNI selain dari Tim Irian Barat RPKAD atau Kopassus, berasal dari KODAM VII/Diponegoro, KODAM VIII/Brawijaya, Kompi A Yonif 700/Raiders, KODAM XV/Hasanuddin dan KODAM XVII/Cenderawasih.
Dua tahun kemudian, dilakukan juga Operasi Pamungkas, Juli 1970. Operasi ini dipimpin oleh Danyongab Satgas 3/Merdeka, Mayor Ahmad, yang kemudian digantikan oleh Letkol. S. Mardjan. Dalam operasi ini terlibat pasukan dari Satgas 3/Merdeka, satu peleton dari Yon 751 dan 1 peleton dari Kompi 753.
Tugasnya adalah mengejar kelompok Ferry Awom sepanjang hari selama berbulan-bulan. Dalam pengejaran ini Kapten Sahala Rajagukguk berhasil membujuk Ferry Awom dan 400 orang anggotanya untuk menyerah. Ferry Awom dan kelompoknya baru menyerahkan diri setelah melakukan perlawanan selama lima tahun lamanya. Saat itu, Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen Acub Zainal menerima mereka di Lapangan Borarsi, Manokwari, 19 November 1970. Meskipun ada pihak yang meragukan peristiwa itu –sebab hingga kini tidak diketahui dimana pusara Ferry Awom tersebut—faktanya perlawanan Ferry Awom dan kelompoknya saat itu padam.
Nasionalisme dari Ujung Timur Indonesia
Selain dua kisah di atas, Nasionalisme di Tanah Papua, khususnya di Papua Barat, juga dapat digali dari legenda yang diyakini pernah terjadi di Gunung Nabi (Babo, Teluk Bintuni) dan Danau Framu (Ayamaru, Maybrat). Di kedua lokasi ini ditemukan legenda yang mengaitkan dengan keberadaan Bung Karno, Proklamator dan Presiden RI pertama.
Istilah legenda berasal dari bahasa Inggris, “Legend”. Menurut Cambridge Dictionary, kata legend mengandung arti adalah cerita yang sangat tua atau kumpulan cerita dari zaman kuno, atau cerita yang tidak selalu benar, yang diceritakan orang tentang peristiwa atau orang terkenal. Legenda adalah narasi yang sering kali diturunkan dari masa lalu.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Legenda adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa, menyampaikan pelajaran, atau sekedar menghibur penonton. Menurut Hasanuddin W.S., Legenda adalah cerita rakyat yang berisikan tentang tokoh, peristiwa atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dengan mitos. Sedangkan menurut Emeis, Legenda adalah bagian dari cerita rakyat yang dianggap pernah terjadi, yang mana ceritanya terbilang kuno dan setengahnya berdasarkan sejarah dan setengahnya lagi bersifat angan-angan.
Oleh sebab itu, Legenda sering kali dianggap sebagai sejarah kolektif (folklore). Tidak sedikit legenda yang berkembang dari mulut ke mulut atau tidak tertulis. Karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda itu harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari sifat folklore-nya.
Bung Karno, menurut suatu legenda di Papua Barat, pernah diasingkan di sekitar Danau Framu, Ayamaru atau pernah melintasi Gunung Nabi, di Babo. Legenda ini menjadi tuturan turun-temurun yang berasal dari Klawok Kaleb Bless dan Cosmas Werfete. Keturunan mereka, Soni Bless dan Keliopes Werfete, yang kemudian menjadikan tuturan ini terkenal. Kedua tuturan ini kemudian menjadi semacam legenda.
Keliopes Werfete, menyebutkan kisah Bung Karno menerima keris dari Cosmas Werfete di Gunung Nabi.
Berkat keris itu, kata Keliopes, Bung Karno akhirnya selamat dari kejaran Jepang. Sedangkan Soni Bless, yang mengaku mendengar dari keluarganya, Klawok Kaleb Bless, Bung Karno pernah dililit ular Naga, namun selamat. Bahkan, Bung Karno dikatakan melanjutkan perjalanan ke Teminabuan (kini ibukota Kab. Sorong Selatan) dengan berjalan kaki selama 12 jam hingga tiba disana.
Meskipun secara teori dan fakta historis pembuangan Bung Karno ke Papua atau Papua Barat tidak dapat dibuktikan, baik di Boven Digoel, Tanah Merah (Merauke) atau Ayamaru (Maybrat), tetapi masyarakat di Tanah Papua tetap mempercayai bahwa Sang Proklamator RI tersebut memang benar-benar pernah berada disana. Ini menunjukkan, bahwa sosok Bung Karno memang telah melegenda dan menjadi salah satu bentuk Nasionalisme bagi mereka.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-77 (17 Agustus 1945-2022). Dengan pengamalan Bhinneka Tunggal Ika, niscaya kita akan “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”.
Penulis: Mln Rakeeman R.A.M. Jumaan
Dr. RAKEEMAN R.A.M. JUMAAN
• Mubalig Daerah Papua Barat
• Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) Jakarta, Indonesia
• Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre of the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku
• Peneliti Etnografi, Filologi, Kodikologi, Sejarah dan Antropologi