Indonesia patut bangga dengan seseorang yang telah dinobatkan sebagai pemimpin sejati sepanjang sejarah. Seorang yang telah dianugerahi photographic memory dan menguasai 10 bahasa lisan-tulisan. Dia juga memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai kampus, di dalam dan luar negeri karena jasanya dalam bidang Ilmu Hukum, Politik, Pemerintahan, Ushuluddin dan Sejarah.
Dr. (H.C.) Ir. Soekarno atau kerap disebut Bung Karno, dilahirkan dengan nama kecil Koesno Sosrodihardjo, pada 6 Juni 1901. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang guru yang ditempatkan di Buleleng, Bali. Silsilah leluhurnya bila dirunut ke atas akan sampai pada Kerajaan Majapahit bahkan Singosari. Sedangkan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, adalah seorang keturunan bangsawan Buleleng.
Karena sering sakit-sakitan, Koesno kecil kemudian berganti nama menjadi Soekarno (aslinya, Soekarna). Karena kata “Soe” mirip ejaan penjajah, maka diganti sendiri menjadi Su (bahasa Jawa: baik). Sedangkan kata Karno (aslinya, Karna) adalah nama salah satu panglima Perang Bharata Yudha dalam Mahabharata, yaitu Panglima Karna. Bung Karno dikenal memiliki minat terhadap benda-benda pusaka.
Saat masih menjadi Presiden, di Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor, Batutulis dan di rumahnya terdapat banyak sekali koleksi benda pusaka ini. Pusaka itu bentuknya berupa keris, tongkat komando, tombak dan lainnya. Meski pembuangan Bung Karno di Boven Digoel (Papua Barat) masih menjadi kontroversi, namun ada satu kisah yang diceritakan oleh seorang wartawan berdasarkan penuturan dari penduduk setempat di Papua Barat.
Kisah perjumpaan Bung Karno dengan Cosmas Werbete dan hadiah sebilah Keris. Kisah itu dituturkan oleh Keliopes Werbete.
Keris Pusaka dari Gunung Nabi
Menurut Drs. Sugeng Wiyono dari Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta, bahwa pada 1942 Bung Karno pernah berada di Papua di Wilayah Babo. Wilayah ini punya arti dan nilai sejarah tinggi berkaitan erat dengan “Keris Pusaka” yang diperoleh Bung Karno dari Gunung Nabi melalui Cosmas Werbete.
Saat Bung Karno berada di Babo pada Perang Dunia (PD) II berkecamuk, tokoh Proklamator itu diincar tentara Jepang untuk dibunuh. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Bung Karno dilarikan dari Babo ke kampung Refideso oleh Cosmas Werbete, kemudian menuju Gunung Nabi. Dan di Gunung keramat itu Bung Karno diberi keris wasiat seperti kata Keliopes.
Secara kebetulan Bung Karno lolos dari percobaan pembunuhan, setelah diberi keris tersebut. Kemudian bersama Cosmas Werbete pemilik keris tersebut akhirnya Bung Karno diasingkan. Meskipun kisah itu terlihat anakronis dan ahistoris, namun terlihat ada upaya mengaitkan benda pusaka dan lokasi keramat.
Refideso merupakan sebuah desa di Kecamatan Kuri, Teluk Bintuni, Papua Barat. Nama Kuri sendiri berasal dari putra salah seorang tokoh di Gunung Nabi yang dikatakan sebagai Nabi Nuh as. Menurut kisahnya, Nabi Nuh as beserta ketiga putranya dan ditemani 48 orang lain terdampar di Gunung Nabi. Ketiga putra Nabi Nuh as itu bernama: Irarutu, Mairasi dan Kuri.
Menurut Hikayat Gunung Nabi, seluruh dunia tenggelam oleh banjir dan orang-orang terpilih yang berada dalam Kapal Nabi Nuh as telah terdampar di Gunung Nabi. Masih menurut hikayat yang sama, disebutkan bahwa pasca banjir surut, Nabi Nuh as dan ketiga anaknya yang bernama Irarutu, Mairasi dan Kuri beserta 48 orang penumpang lainnya yang berada di dalam bahtera tersebut turun dari Gunung Nabi dan menyebar ke seluruh dunia.
Irarutu menuruni Gunung Nabi melalui rute Sungai Narmasa terus ke Tugarni menuju Teluk Arguni, dan Mairasi menuruni Gunung Nabi melalui rute Sungai Urere, terus ke Lobo dan terus menuju Teluk Triton, sedangkan Kuri menuruni Gunung Nabi melalui rute Sungai Wosimi tembus hingga ke Teluk Bintuni dan Teluk Wondama.
Sedangkan, benda pusaka itu tidak lain adalah keris yang dikatakan milik Cosmas Werbete. Sedangkan locus terjadinya peristiwa adalah Gunung Nabi. Ini adalah wajar, sebab keris dan Gunung Nabi menjadi simbol hubungan emosional antara Papua Barat dan Bung Karno. Apakah memang Bung Karno pernah singgah di Gunung Nabi atau diasingkan ke Boven Digoel?
Bung Karno dan Boven Digoel
Bung Karno yang dikatakan pernah mengalami masa pembuangan di Boven Digoel menjadi kontroversi. Selain kisah di atas yang menyebutkan keberadaan Bung Karno di Babo, Refideso dan Gunung Nabi, ada satu kenyataan lainnya yang berbeda. Mohammad Hatta, Proklamator RI yang juga Wakil Presiden RI Pertama pernah menyampaikan keterangan dalam acara Reuni Pendidikan Nasional di Bandung (1968) sebagai berikut:
”Het was Soekarno, die deze organisatie had ingeprent om niet met de Nederlanders samen te werken, maar toen hij verbannen zou worden, huilde hij, vroeg om vergiffenis, en schreef een brief uit de gevangenis, waarin hij verklaarde uit de organisatie te treden. Daarom werd hij niet naar Boven Digoel, maar naar Flores verbannen.”
(Adalah Soekarno, yang telah menanamkan organisasi ini untuk tidak bekerja sama dengan Belanda, tetapi ketika dia akan diasingkan, dia menangis, meminta pengampunan, dan menulis surat dari penjara, menyatakan bahwa dia meninggalkan organisasi. Itu sebabnya dia dibuang bukan ke Boven Digoel, tapi ke Flores.)
Demikian tulis I.F.M Salim dalam bukunya, “Vijftien jaar Boven Digoel Concentratiekamp in Nieuw-Guinea.” Dan, dengan pelengkap judul yang lain ‘’Bakermat van de Indonesische onafhankelijkheid. ” I.F.M. Salim sendiri adalah adik dari Haji Agoes Salim, seorang tokoh Sarekat Islam yang juga pernah menjadi diplomat serta menguasai 8 bahasa asing, aktif lisan-tulisan.
Untuk pembanding, dapat juga dibaca pada ElseviersWeekblaad tanggal 2 Maret 1968 (hal. 26). Dimana disitu disebutkan bahwa “Soekarno huilde en vroeg om vergiffenis. Dat gebeurde toen hij door het Ned-Indische gouvernement naar Boven Digoel zou worden verbanne.” (Sukarno menangis dan meminta maaf. Ini terjadi ketika ia akan diasingkan ke Boven Digoel oleh pemerintah India Belanda.)
Gugatan terhadap sejarah yang sudah terbilang mapan ini tentu saja bagi beberapa kalangan seperti “petir di siang bolong”. Tentu saja, banyak orang yang akan terkaget-kaget. Meski demikian, dalam Ilmu Sejarah, ini dianggap biasa-biasa saja. Sepanjang ada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan, maka sah-sah saja mengungkapkan teori atau hipotesa.
Pentingnya Keris dan Gunung Nabi Papua Barat
Keris telah diakui oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya non-bendawi melalui penetapan Direktur Jenderal Koichiro Matsuura pada 25 Nopember 2005 di Paris, Perancis. Disebutkan, bahwa Keris Indonesia adalah Karya Agung Warisan Kemanusiaan Lisan dan Takbenda ( the Indonesian Kris is a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Bagi bangsa Indonesia, keris memiliki kedudukan dan falsafah yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Dari bentuk dan rupa yang dihasilkan para empu Tosan Aji, keris mengandung pralambang kehidupan serta keseimbangan hidup mikrokosmos dan makrokosmos. Terkadang, suatu keris juga memiliki keseimbangan yang tinggi sehingga bisa berdiri (didirikan).
Keris terdiri dari bagian-bagian utama: Pesi, Wilah dan Warangka. Tiap bagian itu juga mengandung filosofi yang tinggi. Pada pesi alias gagang keris terdapat patra yang melambangkan hubungan antara makhluk dengan Sang Khalik. Begitu juga pada wilah dan penetes-nya: ada yang disebut ganja, gandhik, greneng, gulu meled, lambe gajah, blambangan, kembang kacang, sogokan, janur, landhep, wedidang, sraweyan dan ada-ada.
Sedangkan pada warangka terdapat angkup, pipi, janggut, gandar, pendhok, pindakan, awak-awak, ri cangkring, ada-ada dan godongan. Sebagai orang yang masih memiliki trah keturunan dari Singosari dan Majapahit, Bung Karno tentu saja lekat dengan benda pusaka berupa keris ini. Fungsi keris yang memancarkan kewibawaan dan kharisma, sangat cocok bagi Bung Karno. Masyarakat Jawa tentu saja akan sangat menghormatinya.
Ikatan emosional akan semakin kuat antara Bung Karno dengan masyarakat Jawa. Bahkan, bagi sebagian kalangan, Bung Karno telah dianggap sebagai Raja Indonesia yang hingga sekarang masih hidup. Hal ini sama seperti kedudukan Gunung Nabi bagi sebagian masyarakat suku adat di Tanah Papua. Dikatakan, bahwa dari Gunung Nabi semua leluhur manusia berasal.
Di Gunung Nabi juga perahu Nabi Nuh as dikatakan telah terdampar. Begitu juga Nabi Adam as diturunkan Tuhan dari Sorga di Gunung Nabi. Begitu sangat sakral dan pentingnya Gunung Nabi, sehingga Bung Karno juga harus (pernah) berada disana, lengkap dengan peristiwa penyerahan keris. Keris juga identik dengan Kerajaan Singosari dan Majapahit.
Pada masa Majapahit, pengaruh kebudayaan termasuk keris menjangkau ke daerah-daerah yang menjadi mitreka-satata. Sebagai salah satu daerah yang pernah mendapat pengaruh Majapahit, Semenanjung Wanin/Onin di Tanah Papua tentu saja sedikit-banyaknya memiliki budaya penggunaan keris. Sayangnya, seperti di tempat lainnya di daerah Timur –Hutan Kandali (Pulau Buru), Ambwan (Ambon), Gurun (Gorom), Seran (Seram), Muar (Kei)– tidak pernah ditemukan keris peninggalan Majapahit. Begitu juga di Tanah Papua, sulit sekali mendapatkan sebilah keris.
Apalagi, senjata khas Tanah Papua adalah pisau belati, bukan keris. Kalau pada umumnya senjata terbuat dari logam, pisau belati Papua justru terbuat dari tulang kaki burung kasuari (Casuarius unappendiculatus), yaitu burung endemik Papua. Tulang kaki burung kasuari dipilih karena mudah dibentuk dan ditajamkan tapi tetap memiliki struktur yang kuat.
Pegangan senjata tradisional Papua ini biasanya juga dilengkapi dengan hiasan bulu burung kasuari atau serat alam. Suku-suku tradisional Papua biasanya menggunakan senjata ini untuk berburu, perang/menjaga diri dan mengambil hasil hutan. Oleh sebab itu, menghubungkan kisah hidup Bung Karno dengan Keris, Boven Digoel dan Gunung Nabi di Papua Barat memang adalah sesuatu yang sangat membangkitkan emosi.
Keterkaitan ketiga hal tersebut dengan Bung Karno akan mendongkrak kharisma dan hubungan emosional dengan Tanah Papua. Hubungan itu sekuat dengan filosofi warna Merah-Putih (Dwi Warna) yang juga banyak diyakini di Papua sebagai warna pria-wanita. Juga, nama Indonesia sendiri yang menjadi pemersatu bagi suku disana.
Selamat mengambil teladan dari kehadiran “Putra Sang Fajar”!
Penulis: Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
(Muballigh Ahmadiyah Daerah Papua Barat; Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-agama se-Indonesia Manokwari)
One thought on “SOEKARNO: ANTARA KERIS DAN BOVEN DIGOEL”