Semburat surya mulai tampak di ufuk timur, ketika Pakde Prapto masih terduduk di sudut halaman rumahnya. Bukan untuk melamun. Melainkan menikmati karunia sebagai penganut kepercayaan Kejawen itu memang terbiasa bertafakur dengan “caranya”.
Setiap pagi, ketika orang kebanyakan berjalan menuju surau di desanya, Pakde menuju halaman rumahnya. Menginjak tanah tanpa alas kaki, sejenak melihat langit lalu duduk dengan melipat kedua kaki dan mulai tampak memusatkan pikiran. Maka, saya sejenak menyimpulkan, aktivitas ini tak lain seperti gerakan meditasi, atau bahkan serupa dengan menemukan kekhusyukan dalam salat.
Tebakan ini diperkuat ketika akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya, “Pakde, lagi berdoa?”
Jawaban terucap dengan diawali senyuman. “Bukan sekadar berdoa untuk meminta, tapi lebih kepada bersyukur pada yang punya langit dan bumi. Pakde bahagia karena masih diizinkan bangun pagi dengan sehat.”
Menggapai Titik Damai
Rutinitas Pakde Prapto, bukan nama sebenarnya, ketika saya berkesempatan menginap di rumahnya adalah sebuah kenyamanan batin, sekaligus keprihatinan. Dikatakan nyaman, karena di usianya yang menginjak 60-an tahun, ia konsisten dengan rasa syukurnya. Semua ia persembahkan kepada siapapun yang ia anggap memberinya kesehatan dan umur panjang.
Sementara di sisi lain, keprihatinan juga tersirat karena saya tahu betul, di dalam KTP Pakde Prapto tertulis “Islam” sebagai agamanya. Padahal, justru ia sama sekali tidak pernah mengenal Islam, apalagi melakukan hal-hal yang menjadi rukun seorang Islam.
Pakde Prapto barangkali hanya salah satu contoh. Masih banyak yang menempatkan status keberagamaan secara administratif bukanlah hal penting dibandingkan keyakinan beragama itu sendiri. Seorang kawan di Sumba yang masih menganut keyakinan Marapu juga harus ikhlas ketika pemerintah “memaksa” menjadikannya Kristen di KTP. Masih ada saudara-saudara dari Ahmadiyah yang bahkan pernah menjadi warga negara tanpa KTP, karena dianggap menyimpang terlalu jauh dari pengakuannya sebagai seorang Islam.
Saya tidak akan membahas tentang keyakinan tersebut satu persatu. Tidak juga untuk memaksa pembaca untuk meyakini adanya keyakinan-keyakinan tersebut. Namun faktanya, tak sedikit dari para penganut keyakinan yang dianggap “berbeda” itu justru menemukan kedamaiannya sebagai manusia.
Para penganut Kejawen yang harus di-Islamkan tentu tak pernah dengan sengaja menginjakkan kakinya ke masjid untuk menunaikan salat. Tapi ternyata, bukan berarti mereka tidak menemukan titik damai dan ketenangan.
Tuhan, yang diyakini oleh seorang muslim sebagai sumber ketenangan hati dalam menghadapi pelbagai masalah kehidupan, mereka temukan dengan ritual pagi dan senja dengan menginjakkan kaki telanjangnya ke tanah dan memusatkan pikiran dengan beratap langit. Seolah mereka pun sedang bicara dengan Tuhan, seperti halnya ketika seorang muslim sedang berbincang dengan Allah Taala di dalam salat.
Menemukan dan Menikmati Karunia Tuhan
Setiap orang memiliki haknya untuk memilih jalan hidup, secara jasmani maupun rohani. Fanatisme pada suatu keyakinan beragama, tidak memberikan akses kepada siapapun untuk memaksa orang lain meyakini agama yang sama. Bahkan, untuk tidak mengakui Tuhan pun adalah sebuah pilihan.
Sebelum jauh memaksakan sebuah keyakinan, atau bahkan sebelum memeluk keyakinan itu sendiri, makna dari “karunia” adalah hal penting yang perlu terlebih dulu dimengerti. Nikmat menjadi seseroang yang menjalani kehidupan dengan damai, tidak tergulung dengan kesibukan yang melelahkan, terbuai dengan tren-tren konsumtif seiring perkembangan zaman, hingga sampai pada pemahaman bahwa kehidupan di dunia hanyalah sesingkat menyiapkan bekal untuk perjalanan panjang setelah kematian.
Setiap orang berhak menapaki perjalanan spritualnya hingga menemukan karunia yang dimaksud. Tuhan bagi satu orang, belum tentu sama bagi orang yang lain. Bahkan, beberapa orang dengan Tuhan yang sama pun belum tentu memiliki jalan yang sama dalam menemukan-Nya.
Hal menarik berikutnya adalah ketika melihat para penganut keyakinan “yang berbeda” tersebut, juga memiliki jiwa sosial yang sama tinggi dengan penganut “agama resmi” lainnya. Pakde Prapto bukan orang yang cuek ketika melihat tetangganya sakit, meninggal, atau sedang membutuhkan bantuan.
Menggapai Titik Damai
Tanpa melihat apakah sang tetangga juga kejawen atau bukan, senyum ramahnya menyapa tetangga yang melewati depan rumahnya. Tak jarang, sekadar sepiring jajanan juga turut disumbangkan untuk pengajian bapak-bapak di surau.
Selain itu, ada juga rekan Ahmadi (sebutan untuk para pengikut Ahmadiyah) yang memiliki narasi damai “Love for All, Hatred for None”. Sekilas tidak ada yang spesial dari motto ini, apalagi jika kita paham bahwa sifat-sifat Allah memang seharusnya terpancar dalam keseharian manusia, salah satunya Rahman Rahiim.
Menariknya lagi, narasi damai dari Ahmadiyah ini muncul di tengah Perang Dingin yang sedang beelangsung antara blok Barat dan Timur medio 1978. Khalifah Ahmadiyah menjawab pertanyaan wartawan perihal senjata yang dimiliki Ahmadiyah untuk menaklukkan dunia, yaitu “Love for All, Hatred for None”.
Sontak terpikir, labeling untuk Ahmadiyah sebagai agama yang berbeda, mengapa komunitas ini justru menjadi salah satu yang menggaungkan perdamaian? Bukankah hal ini berarti Ahmadiyah sudah sejalan dengan tujuan diturunkannya Islam?
Begitulah sejatinya menikmati karunia. Hal absurd yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang menemukannya. Tuhan yang diyakini berada di suatu tempat, sejatinya ada di dalam hati, berupa titik damai meskipun menjadi orang yang berbeda.
One thought on “Menikmati Karunia sebagai “Yang Berbeda””