“Hakikat id adalah kita merayakan kebahagiaan bersama orang lain.”
Mendapati kembali Idulfitri di tengah pandemi yang belum sepenuhnya sirna adalah sebuah karunia yang patut kita syukuri. Betapa tidak, tak sedikit orang yang telah kehilangan keluarga tercintanya sejak wabah menyapa dunia.
Tak dipungkiri Idulfitri tahun 2022 ini demikian istimewa. Tidak ada lagi larangan mudik dan pembatasan kegiatan seperti tahun sebelumnya. Kesempatan untuk bertemu keluarga mulai terbuka. Rona bahagia Idulfitri pun semakin terasa. Namun demikian, apakah kebahagiaan Id hanya berhenti di acara kumpul keluarga saja?
Siang itu, pemandangan menarik terlihat dari sebuah masjid di tengah kota Semarang. Ketika kebanyakan umat Islam sudah selesai dengan ritual salat Idul Fitri, sebuah masjid bernama “Nusrat Jahan” ini masih membuka pintunya lebar-lebar untuk banyak tamu undangan.
Open house, barangkali bukan tradisi baru ketika hari raya tiba. Para pejabat yang mempersilakan warganya berkunjung untuk bersilaturahmi. Akan tetapi, open house di “Nusrat Jahan” tampak berbeda.
Tamu yang hadir di Masjid ini bukan pejabat, tidak juga para tokoh nasional, melainkan Bikkhu, Pastor, Pendeta, Suster dan mahasiswa katolik. Semua tampak akrab, tanpa identitas agama yang menyekat.
Suasana ini tentu menjadi menarik di tengah keberagaman yang sering diangkat sebagai alasan pemecah persatuan. Ke-aku-an beragama tidak terlihat di siang itu. Hanya ada kebahagiaan id yang nampak turut dirasakan oleh para pemuka agama, meskipun bukan dari Islam.
Hakikat Perayaan Id
Tentu siapapun sepakat jika Id atau perayaan Idulfitri adalah hari raya untuk umat Islam. Namun, sedikit yang memahami bahwa hakikat Id bukan hanya acara makan-minum setelah sebulan berpuasa Ramadan. Id yang sebenarnya adalah ketika seseorang bisa betemu dan berbahagia dengan orang lain tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, status sosial dan sebagainya.
Perayaan id sejatinya adalah merayakan kebahagiaan. Umat Islam merupakan kaum pertama yang mendapat kebahagiaan ini. Akan tetapi, kebahagiaan sejati baru akan tercipta ketika pancarannya juga dapat dirasakan dan dinikmati secara nyata oleh semua di muka bumi ini.
Terlebih jika menjadi bagian dari umat Islam yang ada di Indonesia, yaitu Islam yang berdiri di tengah keberagama suku, budaya dan agama lainnya. Maka sirna sudah makna dari kebahagiaan id, jika hanya merayakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri, tanpa bisa menularkan kebahagiaan serupa kepada orang lain.
Tidak akan ada artinya kita hidup dengan kekhusyukan ibadah secara vertikal, jika tak pernah mampu menerapkan kedamaiannya secara horizontal. Haququllah-haququlibaad adalah dua hal yang harus berjalan secara harmonis, bersamaan dan seimbang tanpa mengurangi hak salah satunya hanya untuk memenuhi hak yang lain.
Ramadan telah menjadi bulan berlatih sekaligus berlomba untuk beribadah, terutama menahan hawa nafsu, ego dan segala kesombongan yang menyengsarakan. Maka pada Syawal dan bulan-bulan berikutnya adalah waktu pembuktian, untuk melanjutkan pengendalian diri tersebut. Termasuk di dalamnya, mengendalikan “aku” yang kerap membuat jurang pemisah di tengah keberagaman.
Perayaan id sejatinya adalah perayaan kemenangan atas keberhasilan dari pengendalian tersebut. Barang siapa yang selama Ramadan tidak melatih dirinya untuk hal itu, maka tidak juga boleh dikatakan meraih id yang hakiki. Begitu pula ketika awal bulan syawal tiba namun masih ada setitik sombong di dalam hati yang menolak keberadaan kaum lain yang berbeda golongan.
Masjid Nusrat Jahan di tengah Kota Semarang ini telah memberikan contoh konkret dari perayaan id yang sebenaranya. Membuka mata dan mengetuk pintu hati, tentang sebuah makna id yang sejati. Merayakan kemenangan Idulfitri memang seharusnya tidak berhenti dengan “Hari Makan dan Minum” saja. Akan tetapi, memancarkan kebahagiaan id kepada orang lain adalah cerminan kesucian hati yang merupakan berkah dari perayaan id itu sendiri. Tak satu pun orang yang tahu akan akhir dari kehidupannya sudah cukup menjadi landasan untuk menjauhkan diri dari sekat pembeda, kesombongan diri dan buruk sangka. Maka, mengajak serta lebih banyak orang untuk bahagia sejatinya adalah kebahagiaan itu sendiri.
Penulis: Rahma Roshadi