Telah bersabda Rasulullah saw: “Aku melihat di malam Isra denganku akan sejumlah kalimat di tiang Arasy sebagai berikut: “Allahul Hadi” (satu kali), “Hudallah” (lima kali), “Jamalul Fi’li” (tiga kali), “Zara’allahu Zar’an bila Bazrin” (tujuh kali), “Dinullah” (empat kali), “Badius Samawati wal Ardhi” (dua kali), “Wailun liman ‘Asha” (enam kali), “Dinullah” (empat kali), “Zara’allahu Zar’an bila Bazrin” (tujuh kali), “Badius Samawati” (dua kali), “Jamalul Fi’li” (tiga kali), “Hudallah” (lima kali), “Wailun liman Asha” (enam kali), Allahul Hadi” (satu kali), “Badius Samawati” (dua kali), “Dinullah” (empat kali), “Hudallah” (lima kali), Zara’allahu Zar’an bila Bazrin” (tujuh kali), “Allahul Hadi” (satu kali) dan “Jamalul Fi’li” (tiga kali).”
Bersabda Rasulullah saw, “Ambil olehmu awal kalimat yang delapan pertama menjadi huruf Tahun dan awal kalimat yang sebanyak dua belas kedua menjadi huruf Bulan. Maka himpunlah huruf tahun dengan huruf bulan, artinya jumlahkanlah, maka mulailah membilang dari hari Rabu atau Kamis, dan dihari mana sampai bilangan, maka hari itu adalah awal bulan itu dan juga Rasulullah saw bersabda, “Takwim adalah jalanku, selain puasa Ramadhan.”
Tahun 1440 H (2019) lalu, 12 Negeri Islam di Kecamatan Leihitu dan Leihitu Barat saling berbeda pendapat dalam penetapan tanggal 1 Ramadan 1440 H. Bila patokannya adalah tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah, maka selisihnya dua dan satu hari.
Negeri Wakal, Kaitetu, (sebagian) Tenga-tenga, (sebagian) Waepoti menetapkan 1 Ramadan 1440 H pada Sabtu, 4 Mei 2019. Artinya, negeri-negeri Islam di Maluku ini dua hari lebih cepat dari pada tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kemudian Negeri Seith, Negeri Lima dan Negeri Wakasihu menetapkan 1 Ramadan 1440 H pada Minggu, 5 Mei 2019. Artinya, negeri-negeri Islam di Kecamatan Leihitu ini lebih cepat sehari daripada tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Sedangkan Negeri Morela, Negeri Mamala, Negeri Hitu, Negeri Hila, Negeri Ureng, Negeri Larike dan Negeri Asilulu menetapkan 1 Ramadan 1440 H pada Senin, 6 Mei 2019 atau bersamaan dengan keputusan pemerintah.
Lalu, mengapa tanggal pelaksanaan awal puasa di negeri-negeri Islam Maluku itu menjadi berbeda-beda? Apakah masing-masing negeri menggunakan perhitungan kalender yang berbeda? Kalender apakah yang dipakai oleh mereka? Apakah ada metode perhitungan lainnya?
Metode Penentuan 1 Ramadan di Negeri-Negeri Islam Maluku
Apabila memperhatikan selisih hari pelaksanaan awal puasa Ramadan di atas, maka dipastikan ada penyebab utama yang memunculkan perbedaan tersebut. Sebab, perbedaan itu tampak mencolok sekali dan terjadi hampir setiap tahun.
Jika menggunakan perhitungan suatu kalender tertentu, artinya ada perbedaan cara menghitung almanak tersebut. Karena ketika almanak atau penanggalannya sama, pastilah perhitungannya juga akan sama.
Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan oleh rumus perhitungan almanak yang berbeda. Sebab, di beberapa Negeri Islam telah ditemukan kalender yang menjadi acuan penentuan awal 1 Ramadan oleh tetua agama dan tokoh ulama. Negeri Kaitetu Kecamatan Leihitu salah satu yang menggunakan Almanak Falakiyyah tersebut.
Almanak Falakiyyah yang dipergunakan ternyata adalah Almanak Jawa-Hijriah yang lebih dikenal sebagai Almanak Sultan Agung Mataram (1633). Di beberapa Negeri Islam lainnya perhitungan kalender tersebut digabungkan dengan rukyat ufuk barat dan atau pasang-surut air laut.
Mengenal Alamanak Jawa Islam
Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram saat itu dan berbagai kerajaan di Nusantara lainnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan tersendiri karena memadukan sistem penanggalan Islam, penanggalan Hindu dan penanggalan Julian dari budaya Barat.
Sistem kalender Jawa ini memakai dua siklus hari yaitu siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari disebut Saptawara (Senin sampai Ahad) dan siklus pekan pancawara terdiri yang terdiri dari lima hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing).
Pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan ajaran agama Islam di pulau Jawa. Upaya yang dilakukan oleh sultan Agung ialah mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender Qomariah atau lunar yang (berbasis dari perputaran bulan). Untuk penentuan awal bulan biasanya ditandai dengan melihat hilal.
Pada masa Sultan Agung, penanggalan Jawa dimulai dari tanggal 1 Suro/Muharam yang bertepatan dengan Hari Jumat Legi. Setiap 120 tahun sekali ada kelebihan 1 hari, sehingga tahun yang ke-120/windu ke-15 yang tadinya tahun Jim Akhir yang merupakan tahun Kabisat maka menjadi Tahun Basitah. Cara penghitungannya, setiap 120 tahun sekali maka maju satu hari. Berarti dari Jumat Legi menjadi Kamis Kliwon. Setelah Kamis Kliwon 120 tahun kemudian itu, munculah penanggalan Rabu Wage (Aboge) pada (Tahun 1749-1866 Jawa).
Almanak Jawa Islam di Negeri Kaitetu dan Analisanya
Di Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah terdapat Almanak yang disakralkan. Meskipun Almanak yang dianggap aslinya telah disimpan secara khusus karena mengalami pelapukan, namun salinannya tetap disimpan di Masjid Tua “Wapauwe”. Salinan itu ditempelkan pada bagian dinding yang terbuat dari gaba-gaba (pelepah sagu).
Tradisi yang berlaku di Negeri Kaitetu, menentukan awal 1 Ramadan yang diawali dengan penghitungan berdasarkan rumus dalam almanak itu. Hasil penglihatan ufuk barat (rukyat hilal) juga dilakukan. Setelah itu tetua agama yang jumlahnya 12 orang berkumpul dan membahasnya. Hasilnya kemudian disampaikan oleh Bapak Raja kepada masyarakat.
Apabila melihat rumus tabel yang dipergunakan dalam almanak itu, ternyata adalah Almanak Jawa Islam alias Almanak Jawa Hijriah yang aslinya disusun oleh Sultan Agung Mataram. Artinya, untuk penentuan tanggal 1 Ramadan pun pastinya didasarkan atas perhitungan dari Sang Sultan tersebut.
Jika dihitung dari masa Sultan Agung, Almanak itu seharusnya sudah mengalami beberapa kali revisi. Bila dimulai pada 1627 Jawa, maka perhitungan rumusnya akan berubah tiap 120 tahun berikutnya. Yaitu pada 1747 Jawa (1967 Masehi), 1867 Jawa (1987 Masehi).
Seharusnya mulai tahun 1867 Jawa (1987 Masehi), lalu hingga tahun 2107 Masehi (1987 Jawa) yang akan datang, kalender sudah mundur satu hari menjadi Selasa Pon (Asapon). Dan penanggalan Jawa sudah memakai Alif Selasa Pon. Tapi kebanyakan penganut agama Islam Jawa masih menggunakan kalender Jawa Aboge.
Itulah salah satu penyebab mengapa ada selisih hari saat menentukan awal Bulan Ramadan dan Bulan Syawal (Hari Raya Idul Fitri). Terkadang ada yang melaksanakan puasa terlebih dahulu bahkan malah ada yang sampai selisih 2 hari seperti yang terjadi di Negeri Kaitetu dan beberapa negeri lainnya.
Tahun Alif yang akan datang berada di tahun 2107 Masehi (1987 Jawa) dan jatuh di hari Senin Pahing. Kita sudah tidak memakai Aboge ataupun Asapon lagi melainkan Asehing (Alif Senin Pahing). Setelah 120 tahun kemudian yang bertepatan di tahun 2227 Masehi (2107 Jawa), maka tahun alif mundur satu hari tepat di hari Minggu Legi.
Kesimpulan
Memperhatikan perhitungan Almanak yang dipergunakan oleh Negeri-negeri Islam di Maluku, khususnya di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, ada satu kesimpulan yang didapat mengapa penentuan tanggal 1 Ramadan selalu berbeda setiap tahunnya. Salah satunya adalah karena rumus yang dipergunakan untuk perhitungan itu sudah kadaluarsa. Seharusnya dilakukan revisi setiap 120 tahun kemudian.
Dari sini kita mengetahui sejak tahun berapa almanak itu tidak pernah direvisi lagi. Begitu juga sejak kapan Almanak itu dipergunakan di Negeri Islam tersebut. Dari selisih harinya, kita dapat memperkirakan awal penggunaannya di Negeri Islam tersebut. Misalnya, jika selisihnya dua hari, kemungkinan selama 240 tahun tidak pernah dilakukan revisi.
Artinya, tinggal dikurangi kelipatan 120 saja untuk mengetahui awal perbedaan perhitungan/selisihnya. Misalnya, tahun 1987 Masehi dikurangi 120 (hasilnya 1867), dikurangi 120 lagi (hasilnya 1747). Jadi, Almanak itu tidak direvisi sejak pergantian siklus pada 1747 Masehi.
Dari sini kita juga bisa memperkirakan situasi sosial politik Negeri Hitu pada masa itu. Tahun 1747 adalah tepat satu abad sejak keruntuhan Kerajaan Islam Hitu. Itu adalah satu abad setelah Kerajaan Islam pertama dan terbesar di Maluku ini runtuh oleh serangan Belanda (VOC). Raja terakhir yang memerintah adalah Raja Mateuna’ yaitu Raja V Hitu yang wafat pada 29 Juni 1634. Setelah itu, Kerajaan Hitu terpecah menjadi negeri-negeri kecil dengan pemimpinnya masing-masing di bawah kendali VOC.
Kesimpulannya, untuk menyamakan perhitungan awal 1 Ramadan, seharusnya rumus almanak yang dipergunakan disesuaikan dengan perkembangan terkini. Barulah perhitungannya akan sama di semua Negeri Islam di Maluku. Wallahu a’lam!
Penulis: Dr. R.A. Muhammad Jumaan, Mubalig Daerah Papua Barat, Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) 2018-2020, Pendiri dan Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam & Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts & Philology) Ambon, Maluku.