Nama Maria Ulfah mungkin kurang akrab di telinga kita dan tak setenar R.A. Kartini atau Dewi Sartika. Namun kiprahnya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan wanita Indonesia. Ada banyak sekali peran dan jasanya bagi negeri ini.
Maria memiliki nama lengkap Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo. Dia lahir di Serang pada tanggal 18 Agustus 1911, putri dari Raden Adipati Arya Mohammad Ahmad dan R.A. Hadidjah Djajadiningrat. Sang ayah merupakan seorang Pamong Praja didikan Belanda yang kemudian menjadi Bupati Kuningan, setelah sebelumnya sempat bertugas sebagai amtenar di Serang dan Rangkasbitung serta pernah menjabat sebagai Bupati Meester (kini Jatinegara) di Batavia.
Untuk urusan pendidikan Maria Ulfah cukup beruntung karena berada di lingkungan keluarga yang memperhatikan pendidikan. Ayahnya merupakan lulusan Hogere Burger School (HBS) dan ibunya pun mengenyam pendidikan. Suatu hal yang langka pada masa itu. Maria Ulfah mulai bersekolah saat ayahnya dipindahkan ke Jakarta pada 1917. Dia masuk ke Sekolah Dasar di Jalan Cikini, lalu pindah ke Willemslaan (kini Jalan Perwira). Setelah lulus, Maria Ulfah masuk ke Sekolah Menengah Koning Willem III School pada 1924.
Pada tahun 1929, Mohammad Achmad memperoleh kesempatan belajar perkoperasian di Denhaag, Belanda. Ia juga memboyong ketiga anaknya. Saat itu Maria baru lulus sekolah dan berniat untuk melanjutkan pendidikannya. Maria Ulfah kemudian melanjutkan kuliah ke negeri Belanda. Meski awalnya sempat ditawari menjadi dokter, namun atas izin ayahnya dan pilihan Maria sendiri, dia mendaftar ke Fakultas Hukum di Universiteit Leiden.
Maria Ulfah berhasil meraih gelar sarjana hukum di usia 22 tahun tepatnya pada 21 Juni 1933, yang membuat dirinya menjadi sarjana hukum wanita Indonesia pertama. Selama di Belanda, dia merasakan adanya nuansa kebebasan, tidak seperti di tanah air. Maria Ulfah bersosialisasi dengan para mahasiswa asal Indonesia. Aktivitasnya dalam dunia pergerakan baru digeluti saat berkenalan dengan Sutan Syahrir yang mengajaknya ke pertemuan-pertemuan politik seperti Liga Anti Kolonialisme di Leiden.
Selepas lulus kuliah, Maria Ulfah kembali ke tanah air pada Desember 1933. Sejak Januari 1934, dia bekerja di kantor Residen Cirebon dengan tugas menyusun peraturan lalu lintas. Selanjutnya Maria Ulfah pindah ke Jakarta dan menjadi guru di sekolah menengah Muhammadiyah. Di sinilah dia bertemu dengan Santoso Wirodihardjo yang akhirnya mereka menikah pada 28 Februari 1938.
Selain di sekolah itu, Maria Ulfah juga mengajar di Sekolah Menengah Perguruan Rakyat yang didirikan oleh para aktivis pejuang kemerdekaan. Dia merasa lebih senang bergabung ke organisasi yang memiliki cita-cita kemerdekaan bangsa tersebut.
Maria Ulfah aktif pula mengadakan kursus pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban. Peranannya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dimulai ketika dia ikut dalam Kongres Perempuan Indonesia kedua pada 1935 di Batavia. Pasca kongres, Maria Ulfah dipercaya untuk memimpin sebuah Biro Konsultasi yang bertugas mengurusi segala permasalahan dalam perkawinan, khususnya membantu kaum perempuan yang mengalami kesulitan dalam perkawinan.
Pada masa pendudukan Jepang, Maria Ulfah memilih untuk bekerja di Departemen Kehakiman (shikooku). Menjelang proklamasi kemerdekaan tahun 1945, dia menjadi anggota BPUPKI dan berhasil memasukkan pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian.
Setelah Indonesia merdeka dan sibuk menata pemerintahan, Maria Ulfah ditugaskan oleh Sutan Sjahrir untuk menjadi Liaison Officer atau sebagai penghubung antara pemerintahan Republik Indonesia dengan pemerintah Sekutu.
Puncak karirnya dalam dunia perpolitikan terjadi ketika dia dipercaya oleh Sutan Sjahrir untuk duduk sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II dan III. Saat itu hal krusial yang harus diatasi adalah mengurus para tawanan wanita dan anak-anak Belanda yang ditawan di kemah-kemah Jepang.
Sejak 19 Agustus 1947 hingga September 1962, Maria Ulfah menjabat sebagai Sekretaris Perdana Menteri dan Sekretaris Dewan Menteri yang kemudian jabatan tersebut dirumuskan menjadi Direktur Kabinet RI. Menurut Maria Ulfah, jabatan Sekretaris Kabinet dianggap lebih berat daripada tugas sebagai menteri. Ketika menjadi menteri, dia cukup menghadiri rapat-rapat kabinet dan mengambil keputusan-keputusan. Namun sebagai kepala Sekretariat Kabinet dia bertanggungjawab atas pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut.
Pada tahun 1950-1961, Maria Ulfah menjabat sebagai ketua Sekretariat Kongres Perempuan Indonesia. Dia yang juga merangkap sebagai Direktur Kabinet Perdana Menteri mengetahui bahwa ada usulan kepada Dewan Menteri untuk menetapkan hari-hari nasional bersejarah bukan hanya hari libur. Misalnya terkait Hari Ibu 22 Desember, Maria Ulfah mengadakan rapat kilat Sekretariat Kongres Perempuan Indonesia ke III dan mengusulkan Hari Ibu agar dijadikan hari nasional bersejarah bukan hari libur pada Tahun 1959. Hal ini kemudian diakui negara melalui Keppres No 316/59 setelah diusulkan kepada pemerintah di era Kabinet Djuanda.
Maria Ulfah juga berjasa memperjuangkan kesempatan kaum wanita tergabung dalam Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) dengan cara menghadap Jenderal A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Akhirnya pada 22 Desember 1961 lahirlah Kowad. Selain itu, dia juga mengeluarkan Maklumat Kementerian Sosial tentang hari buruh sedunia.
Maria Ulfah juga aktif memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, khususnya dalam hukum keluarga dan perkawinan, yang pada akhirnya dapat terwujud ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974. Secara keseluruhan undang-undang tersebut memberi perlindungan kepada kaum perempuan, terutama dalam hukum keluarga dan perkawinan.
Di dunia pers, Maria turut membantu Adam Malik mendirikan kantor berita Antara pada 1937. Dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Sensor Film selama 11 tahun (1950-1961). Maria menikah dengan Soebadio Sastrosatomo pada 1964, tiga tahun sebelum pension. Setelah melewati berbagai perjuangan, srikandi kelahiran Serang itu tutup usia pada 15 April 1988 di usia 76 tahun. Mari Ulfah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kontributor: Nu’man Ahmad