Perempuan, Perang dan Perbaikan Generasi Bangsa
“Bayangan gelap perang sedang melanda di sebagian besar dunia. Jika perang terjadi, maka akan banyak wanita yang tak berdosa, anak-anak dan orang tua pun akan terdampak. Bahkan kehancurannya akan lebih besar dari apa yang disaksikan pada dua perang dunia sebelumnya.” (Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba, 2013)
Kalimat tersebut bukanlah pernyataan yang diucapkan pada hari ini atau kemarin. Tahun 2013, Pemimpin Internasional Jamaah Muslim Ahmadiyah telah mengingatkan adanya potensi timbulnya Perang Dunia III ini di California, Amerika Serikat.
Sengaja saya sematkan kutipan dari Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba tersebut sebagai pencetus pertanyaan, bahwa ternyata peringatan tentang World War 3 memang sudah lama menjadi perbincangan. Bukan masalah siapa yang berbicara, namun secara objektif memang sudah ada seseorang yang menyampaikan peringatan itu.
Sembilan tahun setelah kalimat tersebut dicetuskan, terjadilah apa yang sedang kita saksisakn sekarang. Agresi Rusia terhadap Ukraina digadang menjadi trendingnya tagar World War 3 di jagat maya. Meskipun ada juga pakar yang menilai analisis Perang Dunia III adalah isapan jempol belaka. Namun faktanya serangan mematikan sudah terlihat di depan mata.
Posisi Krusial Perempuan dan Anak-Anak dalam Perang
Pesan sang pimpinan dan dua negara yang sedang berkecamuk adalah sebuah gambaran, betapa di antara keributan negara-negara di dunia masih ada orang atau kelompok yang meemperhatikan penuh ketulusan dan mendoakan redanya pertikaian.
Saya tidak sedang membicarakan perkara agama, melainkan mengungkapkan fakta bahwa masih ada sekelompok besar manusia yang lebih menginginkan perdamaian. Ahmadiyah, adalah salah satu kelompok tersebut yang bertujuan meninggikan perdamaian dunia alih-alih turut menguasai atau menginvasi.
Jika menelisik pesan dari sang pimpinan di atas yang menyebutkan bahwa perempuan dan anak-anak akan menjadi korban, seketika saya mengernyitkan kening dan bertanya, “kenapa harus perempuan?”. Pertanyaan ini datang dari perasaan diri yang menganggap perempuan juga bisa tampil lebih kuat.
Perempuan terlatih memiliki resiliensi tinggi serta daya juang dan kemampuan untuk segera bangkit setelah keterpurukan. Bahkan, tak sedikit perempuan yang tercatat di dalam sejarah sebagai pahlawan di tengah kecamuk peperangan.
Namun sebuah renungan mendalam menghantarkan saya pada pemikiran bahwa sejatinya perang dimaksudkan untuk menghilangkan generasi. Ego untuk menginvasi negara lain hampir seiring sejalan dengan menguasai setiap generasinya agar mutlak tunduk pada kekuasaan yang baru.
Sementara itu, perempuan adalah kelompok manusia yang melahirkan generasi, mendidik dan membentuknya. Maka cara yang paling mudah untuk “menghabisi” sebuah negara adalah dengan musnahkan para perempuannya.
Demikian halnya anak-anak, yang jelas-jelas merupakan penerus dari suatu bangsa. Maka hantaman perang yang traumatis tidak akan mungkin membentuk generasi yang 100% kuat bagi bangsa tersebut. Generasi yang tumbuh dengan ancaman hanya akan berkembang dengan pikiran yang penuh dendam. Alhasil, bukan tidak mungkin pertikaian akan terus berlangsung di generasi berikutnya.
Itulah alasan utama perlunya menghindari peperangan. Karena hal tersebut sama saja dengan sedang menghentikan regenerasi manusia, entah hingga berapa angkatan lamanya.
Peran Perempuan dalam Perbaikan Bangsa
Hilang dan hancurnya perempuan suatu bangsa secara otomatis akan memusnahkan generasi bangsa tersebut. Bukan hanya karena tidak ada lagi kelahiran, tetapi juga akan menjauhkan anak-anak dari pendidikan.
Namun demikian, musnahnya suatu generasi juga mungkin dapat terjadi meskipun tidak terjadi peperangan. Peran perempuan sebagai manusia pertama yang memeluk generasi penerusnya dan mengalirkan darah yang berisi doa-doa ke dalam tubuhnya, harus menjadi renungan mendalam bagi siapapun. Terutama, bagi kaum perempuan itu sendiri.
Perbaikan diri menjadi sebuah kunci utama yang bisa membuka gerbang menuju perbaikan generasi sekarang. Kamudian secara bertahap akan menciptakan perbaikan negara secara keseluruhan. Negara adalah wilayah luas yang cakupan terkecilnya adalah keluarga. Maka, bagaimana membentuk sebuah negara dan bangsa untuk menjadi baik, perbaikilah dahulu lingkungan keluarga kecil kita.
Manakala seorang anak melihat contoh dari keluarga terdekatnya, dari ibunya dan dari perempuan-perempuan terdekat lainnya, maka memori itulah yang akan terbawa hingga bertahun-tahun lamanya. Hal itu akan menjadi sebuah kebiasaan sampai akhirnya melekat sebagai sebuah perilaku dan akhlaknya.
Oleh karenanya, sudah seharusnya seorang perempuan menahan ego. Bukan dalam konteks mengalah dan menyerah dengan keadaan, akan tetapi dalam koridor tujuan perbaikan akhlak generasi mendatang. Niat, lisan dan perilaku yang terlihat serta didengar, adalah pendidikan paling awal yang akan menjadi pilar keberlangsungan generasi penerusnya.
Perempuan merupakan akar yang akan membentuk pohon keluarga, bangsa dan negara. Kekuatan akar-lah yang menentukan seberapa kokoh pohon itu akan berdiri.
Peperangan hanyalah satu dari banyak cara menghancurkan bangsa. Namun generasi tanpa kekuatan perempuan di baliknya sama hancurnya dengan kecamuk perang yang menghancurkan dunia.
Penulis: Rahma Roshadi