Oleh : Mln. Mubarak Achmad
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah dagingnya, dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu. Demikianlah Dia menundukkan mereka untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah sesuai petunjuk kepadamu. Dan berikan khabar suka kepada orang-orang yang berbuat kebaikan”. {QS. Al-Hajj, 22 : 37}
Insya Allah Tanggal 20 Juli 2021, semua umat Islam melaksanakan dan merayakan hari raya, yakni Idul Adha atau biasa disebut Idul Qurban, Orang-orang Islam yang memiliki kemampuan menyembelih hewan Qurban, yaitu kambing, sapi, unta dan hewan ternak lainnya. Pada hari ini, orang-orang berlomba-lomba membeli kambing atausapi yang memenuhi standar dan terbagus untuk disembelih dijadikan Qurban.
Hal ini sebagaimana Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa pilihlah hewan ternak yang terbaik (Hadits). Ada yang membeli hewan yang mahal dan yang murah, tetapi yang benar adalah yang mengerjakannya demi Allah. Allah mengetahui tentang kemampuan kita. Tetapi, ingatlah selalu bahwa Allah Taala berfirman bahwa tidak akan sampai kepada Allah dagingnya dan tidak pula darahnya. Berikanlah kabar suka kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.
Dengan memberikan hewan ternak yang mahal maka bagi orang berada tidak menjadi masalah. Tetapi, Allah tidak akan perduli atas pengeluaran kita, atas hewan yang sehat dan memenuhi persyaratan fisiknya, jika tidak memenuhi persyaratan yang dikehendaki Allah Taala, yaitu adanya ketakwaan di dalam diri kita dan hati kita.
Dalam bahasa Arab kata ‘’Iid’ asalnya dari ‘kata ‘aada’ yang berarti ia/dia kembali. Secara harfiah kata ‘’Iid’ adalah ‘saat kembalinya kegembiraan’. Sedangkan, Adha berarti, ‘bagian awal suatu waktu’/Dia mengurbankan hewan diwaktu Dhuha. Di dalam Al-Qur`an pengertian Idul Adha tentang pengurbanan yang menjadi pokok utama pada hari itu, yakni dalam surah Al Hajj, 22 : 36-37 ;
فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعِ وَ الْمُعْتَرَّ
“Dan apabila [binatang itu] telah rebah mati pada sisinya, maka makanlah daripada dagingnya dan berilah makan orang yang membutuhkannya tetapi tidak mau minta dan juga yang minta diberi {Al-Hajj, 22 : 36}.
لَنْ يَّنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَ لاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Dagingnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah dan tidak pula darahnya, akan tetapi ketakwaanmu itulah yang akan sampai kepada-Nya” {Al-Hajj, 22 : 37}.
Ayat ini menerangkan dengan jelas intisari, rahasia, hakikatdan tujuanserta maksud dari melaksanakan Qurban di jalan Ilahi. Ayat ini mengajarkan bahwa bukanlah perbuatan lahir dari upacara Qurban akan menarik keridhoan Ilahi, melainkan jiwalah yang menjadi dasarnya dan niat yang ada di belakangnya. Sedangkan, daging dan darah binatang yang disembelih tidak akan sampai kepada Ilahi, karena yang diterima Tuhan adalah ketulusan hati.
Tuhan menuntut dan menerima pengurbanan mutlak yang dekat dan kita cintai dari hak milik duniawi, cita-cita yang sangat kita cinta, kehormatan dan jiwa kita sendiri.Tetapi, perlu dihayati bahwa pada hakikatnya, Tuhan tidaklah menuntut dan memerlukan dari pengubanan kita berupa daging dan darah binatang Qurban, akan tetapi yang sebenarnya Tuhan menuntut pengurbanan hati kita.
Hari raya Idul Adha merupakan hari raya kaum Muslim yang paling besar dari antara hari raya lainnya, dilaksanakan guna mengenang suatu peristiwa yang sangat agung dan banyak pelajaran dapat diambil dari pengurbanan keluarga Nabi Ibrahim a.s..
Nabi Ibrahim a.s. setelah menerima Ilham dari Allah Ta`ala. Lalu, atas perintah Ilahi dijalankan dengan keikhlasan dan ketaatan membawa istri dan putra beliau a.s. menuju tanah Mekkah Mukaromah yang pada waktu itu hanya merupakan satu lembah yang tidak berpenghuni, padang pasir yang sepi, sunyi tidak berpenduduk, di sana tidak ada bahan persedian makanan, tidak ada air, apalagi pasar, bahkan seorang penghuni pun tidak ada. Beliau a.s. hanya memberikan bekal satu kantong air dan satu keranjang kurma pada istri dan anaknya.
Pelajaran dari peristiwa Ibrahim a.s. adalah DIDIKLAH ANAK-ANAK SUPAYA KUAT MENAHAN PENDERITAAN.
Jika kita menghendaki kebahagiaan untuk selama-lamanya, supaya Id kita sesudah meninggalkan dunia ini dapat terus dan kekal maka korbankanlah anak-anak dan didiklah mereka begitu rupa sehingga dapat kuat menahan penderitaan, supaya mereka jangan takut menghadapi kesusahan dan penderitaan untuk menegakkan bendera Islam.
SATU KEKELIRUAN PEMAHAMAN jika mengatakan anak-anak itu akan dapat memperbaiki dirinya sendiri apabila mereka menjadi dewasa. Ini adalah suatu pemikiran dan pendapat yang rendah sekali dan kesalahan yang tiada taranya.
Ada satu kisah bahwa pada suatu kali seseorang mengirimkan kurma ke rumah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai sedekah. Imam Husain [ketika itu masih kecil] mengambil satu biji dari tumpukkan kurma tersebut dan terus memasukkan ke dalam mulutnya, beliau saw tidak membiarkan tetapi segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Husain sampai beliau menggaruk mulutnya dengan tangan beliau sendiri dan mengeluarkan pecahan-pecahan kurma sampai yang terkecil sekalipun.
Jika orang yang sekarang menyaksikan peristiwa tersebut tentu mereka akan berkata, “anak masih kecil apa salahnya jika ia makan sebutir kurma yang begitu saja.” Tetapi, Rasulullah saw pada saat itu juga terus menggaruk mulut cucunda beliau s.a.w. dan mengeluarkan kurma dari mulutnya, bahkan cucunda beliau s.a.w. sampai menangis tetapi Rasulullah s.a.w. tidak memperdulikan semua itu dan terus mengeluarkan kurma itu dari mulut Husain sampai pecahan-pecahan yang terkecil. Hal ini tidak kurang nilainya dengan tamparan.
Satu kejadian lagi ketika cucunda beliau masih kecil ialah pada suatu kali Husain sedang makan dan tangannya jauh meraba dari piring yang di depannya, Rasulullah s.a.w. menegur , : “Kul biyamiinika wa min maa yalika.” Makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang lebih dekat kepadamu. Kejadian ini ketika Husain berumur 2 ½ tahun. Dengan ini, kita mendapati kesimpulan bahwa generasiitu sudah harus diberi pendidikan dari ia berumur kecil dengan cara membiasakan kebiasaan baik. ASUHAN GENERASI dengan baik merupakan PENDIDIKAN SANGAT PENTING.
Jadi generasi yang akan datang tidak akan dapat menjadi orang yang baik dan menjadi muslim Ahmadiyah sebelum mereka mendapat pendidikan yang sempurna dari waktu kecilnya.
Hendaknya anak-anak itu mulai dari kecilnya sudah mendapat pelajaran dengan sekadarnya tentang ALLAH, Rasulullah s.a.w., Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan khalifah pada masanya serta tentang syariat juga diberi pengertian berangsur-angsur tentang peraturan Jemaat.
Ringkasnya, ‘Id ini memberi pelajaran kepada kita bahwa apabila kita dapat mengorbankan anak-anak kita dalam arti yang sebenarnya, maka anak-anak kita akan berkembang biak sebanyak bintang di langit.
Barangsiapa yang betul-betul cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang cinta kepada Islam dan anaknya, bahkan siapa yang cinta kepada insaniyyat pun hendaklah ia mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang benar di samping kita menjaga dan menjauhkan diri dari sifat tama’, loba mencuri, bohong, agar anak anak kita pun juga demikian.
Tanamkanlah dalam hati mereka cinta kepada agama dan jemaat. Janganlah kita menghalangi mereka mendapatkan akhlak yang baik dengan cinta yang tidak pada tempatnya agar mereka bisa menjadi suri tauladan bagi orang lain bahkan agar mereka dapat menjadi satu kaum dan keturunan besar di dunia.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi taufik supaya dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab kita dengan sesempurna-sempurnanya