Oleh: Saefullah Ahmad Faruq
Kondisi akhlak merupakan suatu keramat, yang tidak dapat diprotes oleh siapa pun. Itulah sebabnya kepada Nabi kita Rasulullah saw. mukjizat terbesar dan terkuat yang telah diberikan adalah akhlak. Sebagaimana difirmankan:
Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak berbudi pekerti yang agung” (Al-Qalām, 5).
Dalam segi kekuatan serta bukti, segala mukjizat Rasulullah saw. melampaui seluruh mukjizat para nabi lainnya. Akan tetapi mukjizat akhlaki beliau adalah yang paling unggul, dan sejarah dunia tidak dapat mengungkapkan serta memaparkan tandingannya.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 141).
Rasulullah saw adalah teladan sempurna, (Al Ahzab ayat 22) salah satu keteladanan beliau adalah kasih sayang terhadap keluarga.
Sikap Rasulullah saw Terhadap Istri
Ribuan tahun yang silam, di Padang Arafah, di hadapan ratusan ribu umat Islam yang pertama, Rasulullah Saw menyampaikan khotbah perpisahan. Perhatikanlah apa yang diwasiatkanny a pada hari itu:
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengam¬bil mereka sebagai istri dengan amanat Allah. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atas kamu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa¬-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuta aniaya terhadap mereka. ” (H.R. Muslim dan Turmudzi)
“Ada dua dosa yang akan didahulukan Allah siksaannya di dunia ini juga, yaitu al-baghyu dan durhaka kepada orangtua. ” (H.R. Turmudzi, Bukhari, dan Thabrani)
Al-Baghyu adalah berbuat sewenang-wenang, berbuat zalim dan menganiaya orang lain. Dan al-baghyu yang paling dimurkai Allah ialah berbuat zalim terhadap istri sendiri. Termasuk al-baghyu ialah menelantarkan istri, menyakiti hatinya, merampaskehangat cintanya, merendahkan kehormatannya, mengabaikannya dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya untuk memperoleh kebahagiaan hidup bersama anda. Karena itulah Rasulullah Saw mengukur tinggi-rendahnya martabat seorang laki¬laki dari cara ia bergaul dengan istrinya. Nabi Saw bersabda:
“Tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki¬laki yang rendah juga. ” Rasulullah Saw adalah manusia paling mulia. Dan Aisyah ra. bercerita bagaimana Rasul memuliakannya;
“Di rumah,” kata Aisyah, “Rasulullah melayani keperluan istrinya memasak, menyapu lantai, memerah susu, dan membersihkan pakaian.” Dia memanggil istrinya dengan gelaran yang baik. Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, ada beberapa orang menemui Aisyah, memintanya agar menceritakan perilaku Nabi Saw. Aisyah sesaat tidak menjawab permintaan itu. Air matanya berderai. Kemudian, dengan nafas panjang, ia berkata, “Kana kullu amrihi ajaba. ” (Ah… semua perilakunya indah.) Ketika didesak untuk menceritakan perilaku Rasul yang paling mempesona, Aisyah kemudian mengisahkan bagaimana Rasul yang mulia bangun di tengah malam dan meminta izin kepada Aisyah untuk salat malam.
“Izinkan aku menyembah Tuhanku,” ujar Rasulullah Saw kepada Aisyah.”
Bayangkan, Saudara, sampai untuk salat malam saja diperlukannya izin istrinya. Di situ berhimpun kemesraan, kesucian, kesetiaan, dan penghormatan.
Cara Rasulullah saw Menghormati Kaum Wanita
Menurut adat kebiasaan orang-orang Arab di masa lampau, suami seringkali memukul istri mereka. Rasulullah Saw mengetahuinya kemudian beliau bersabda kepada para suami: Perempuan adalah hamba sahaya (budak) Allah Ta’ala bukan hamba sahaya kalian. Ketika seorang sahabat ra bertanya kepada beliau saw, “Apakah hak-hak istri atas kami (para suami)?” Beliau saw bersabda: “Berilah dia makan dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kamu untuk makan, berilah dia pakaian dengan apa yang telah Tuhan berikan kepadamu untuk berpakaian. Janganlah memukul mukanya, janganlah mencaci-makinya dan jangan pula kamu mengusirnya dari rumah kamu.”
Rasulullah Saw bersabda: خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي ‘Khairukum khairukum li ahlihi wa ana khairukum li ahlii.’ – “Orang terbaik diantara kamu adalah dia yang terbaik dalam hal berlaku baik terhadap ahli (penghuni) rumahnya dan aku adalah yang terbaik dari antara kalian dalam hal memperlakukan dengan baik terhadap keluarganya.”
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dikarenakan kesibukan tugas-tugas pemerintahan dan tarbiyat (pendidikan), waktu beliau adalah sangat berharga. Beliau sibuk dalam ibadah-ibadah, namun, dalam keadaan demikian, beliau saw biasa membantu pekerjaan di rumah istri-istri beliau dengan baik sekali. Aisyah ra meriwayatkan, pada waktu manapun beliau saw ada di rumah, beliau saw selalu sibuk membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah. Bila tidak ada tugas-tugas lainnya, beliau saw takkan kosong dari pekerjaan-pekerjaan di rumah. Beliau saw menambal sulam sendiri pakaian beliau yang sudah robek. Beliau saw sendiri yang memerah susu kambing. Jika terlambat tiba di rumah, beliau saw mempersiapkan makanan untuk beliau saw sendiri dan tidak membangunkan orang-orang di rumah.
Lembut dan Penuh Kasih
Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan para istrinya dan amat menghormati mereka. ‘Aisyah bercerita tentang hal ini:
Sekelompok orang Habasyah masuk masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah Saw. berkata kepadaku, “Wahai Humayrâ`, apakah kamu senang melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau berdiri di pintu rumah. Aku menghampirinya. Kuletakkan daguku di atas pundaknya dan kusandarkan wajahku ke pipinya. Di antara ucapan mereka (orang-orang Habasyah) waktu itu, ‘Abû al-Qâsim (Rasulullah) orang baik.’ Lalu Rasulullah berkata, “Cukup.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, jangan tergesa-gesa.” Beliau pun berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup.” Aku berkata, “Jangan tergesa-gesa, ya Rasulullah.” Bukan melihat mereka bermain yang aku suka, melainkan aku ingin para perempuan tahu kedudukan Rasulullah bagiku dan kedudukanku dari beliau.”( HR.al-Nasâ`î, ).
Bayangkan seorang istri berdiri di belakang suaminya untuk melindunginya. Kemudian sang istri meletakkan dagunya di pundak sang suami, wajah sang istri menempel di pipi sang suami. Sang istri meminta sang suami berdiri lebih lama untuknya. Mereka berdiri di pintu rumah sambil memerhatikan orang-orang yang sedang bermain di masjid depan rumah. Kemudian sang istri bertutur, “Sesungguhnya bukan orang-orang yang sedang bermain itu yang menarik perhatianku. Bukan pemandangan itu yang membuatku ingin berlama-lama berdiri di sini bersama suami. Aku hanya ingin para istri tahu kedudukanku bagi suamiku dan kedudukan suamiku bagiku.” Bersama itu, sang suami dengan sabar memenuhi permintaan sang istri terkasih, demi cinta padanya dan guna menjaga perasaannya.
Betapa pun banyak dan beratnya tanggung jawab yang harus dipukul Sang Rasul, beliau tidak pernah lupa akan hak-hak para istrinya. Beliau memperlakukan mereka dengan amat lembut dan penuh kasih. Tidak pernah sedikit pun beliau mengurangi hak mereka. Beliaulah yang dalam salah satu haditsnya bersabda, “Kaum perempuan (para istri) adalah saudara kandung kaum laki-laki (para suami).”( HR. al-Baihaqi, al-Tirmidzî, Ahmad bin Hanbal, ).
Hadits ini menjadi dalil bahwa beliau tidak pernah menganggap kecil kedudukan para istrinya. Beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang setara dengan beliau dan memposisikan mereka pada posisi yang agung. Bagaimana tidak, pada diri seorang istri tersandang sejumlah predikat mulia: ibu, istri, saudara perempuan, bibi, dan anak perempuan.
Pengakuan di Depan Publik
Pada saat banyak suami menganggap bahwa sekadar menyebut nama istri di depan orang lain dapat mengurangi harga diri, kita mendapati Rasulullah justru menampakkan cintanya pada para istrinya di depan umum. Shafiyah binti Huyay mendatangi Rasulullah saw. sewaktu beliau beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian ia berbincang dengan beliau beberapa waktu. Ia berdiri untuk pulang. Rasulullah pun ikut berdiri mengantarkan Shafiyah pulang. Ketika Shafiyah dan Rasulullah sampai di depan pintu Ummu Salamah, dua orang Anshâr lewat dan memberi salam kepada Rasulullah. Kepada dua orang Anshâr itu beliau bersabda, “Perhatikanlah baik-baik oleh kamu berdua, dia ini tidak lain Shafiyah binti Huyay.”( HR. al-Baihaqi, al-Bukhari, Ibnu Hibban ).
Tempat Bersandar di Kala Susah
Nabi Saw. adalah suami yang sangat memahami kondisi para istrinya, baik kondisi fisik maupun psikis. Dua kondisi ini dari satu waktu ke lainnya dapat berubah-ubah. Nabi Saw. sangat pandai memahami hal itu terhadap para istrinya. Maymûnah, salah satu istri Nabi, berkata, “Suatu kali Rasulullah mendatangi salah seorang dari kami. Salah seorang dari kami itu sedang haid. Maka beliau meletakkan kepalanya di dada istrinya yang sedang haid itu, lalu beliau membaca al-Qur`an.”( HR. Ahmad Ibn Hanbal, )
Pada kali lain, Rasulullah Saw. berupaya begitu rupa menenangkan salah satu istrinya yang sedang mengalami tekanan batin. Pada suatu hari, beliau mendatangi Shafiyah binti Huyay. Beliau menemukan Shafiyah sedang menangis. Kepadanya beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyah menjawab, “Hafshah berkata bahwa aku anak orang Yahudi.” Beliau berkata, “Katakan padanya, suamiku Muhammad, ayahku Hârûn, dan pamanku Mûsâ!” ( Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, Kairo: Dâr al-Sya’b, cet. II, 1372 H, 16, hal. 326 ).
Terlihat bagaimana Baginda Nabi menyelesaikan masalah dengan kata-kata sederhana namun mengandung makna yang dalam.
Bermusyawarah Sebelum Mengambil Keputusan
Di kala banyak suami memandang istrinya kurang akal dan agama, Rasulullah yang mulia tidak pernah segan atau merasa keberatan mendengar serta mengambil pendapat istrinya. Ini terlihat ketika beliau meminta pendapat Ummu Salamah dalam perjanjian Hudaybiyah. Waktu itu beliau memerintahkan para sahabat untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban, namun mereka tidak mau melakukannya. Melihat respon para sahabat tersebut, Baginda Nabi masuk ke tenda Ummu Salamah. Begitu beliau menceritakan kepada Ummu Salamah apa yang beliau terima dari para sahabat, Ummu Salamah langsung mengajukan pendapat yang cerdas. Ia berkata: “Keluarlah, ya Rasulullah, kemudian engkau bercukur lalu potong hewan kurban lalu!” Beliau pun keluar dari tenda, bercukur lalu memotong kurban. Melihat hal itu, sontak para sahabat bangkit; mereka serempak bercukur lalu memotong hewan kurban”.( Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Ayy al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H., vol. 2, hal. 221 ).
Tetap Santun Meski Saat Marah
Di kala tidak sedikit para suami yang ringan tangan kepada para istri saat mereka melakukan kesalahan, kita mendapati Sang Nabi tetap bijak, lembut, dan santun dalam memperlakukan para istrinya saat terjadi silang-pendapat atau perselisihan antara beliau dan mereka. Ketika kemarahan beliau agak tinggi, maka pergi menjauhi istri untuk sementara waktu menjadi pilihannya. Tidak pernah beliau menampar satu pun dari istrinya. Beliau menjauhi para istrinya pada saat mereka mendesaknya menuntut nafkah.
Rasulullah Saw tidak pernah mendesak istrinya menyediakan makanan. Dalam satu riwayat diceritakan, suatu ketika, Rasulullah Saw pulang pada waktu pagi. Beliau pasti sangat lapar saat itu. Tetapi dilihatnya tidak ada apapun untuk sarapan, bahkan yang mentah pun tidak ada karena ‘Aisyah belum ke pasar. Maka beliau bertanya, “Belum ada sarapan ya Humaira?” Aisyah menjawab dengan agak serba salah, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Jika begitu aku puasa saja hari ini.” tanpa sedikit pun tergambar raut kesal di muka beliau.
Sikap Kasih Sayang Beliau Kepada Anak-anak
Bagaimanakah contoh kasih-sayang beliau saw kepada anak-anak? Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang bernama Al Farah. Tidak seorang pun memasuki pintu itu kecuali orang-orang yang membuat anak-anak gembira.”
Dalam riwayat yang lain diceritakan, bahwa Rasulullah Saw biasa memanjatkan doa bagi anak-anak beliau sendiri dan bagi anak-anak lain yang tinggal bersama Beliau Saw, “Ya Allah ya Tuhanku! Aku mencintai mereka ini, Engkau juga cintailah mereka ini!” Beliau tidak pernah menghukum anak-anak, selalu mendidik mereka melalui sarana kasih sayang dan doa-doa. Terdapat juga banyak riwayat yang menyebutkan Beliau Saw berkenan bermain-main bersama anak-anak. Kebanyakan orang tua mencintai anak-anak mereka, namun ada juga orang tua yang menghukum anak-anak mereka sendiri tanpa sebab yang wajar. Banyak juga orang tua yang mencintai anak-anak kandung mereka sendiri namun tidak bisa menahan sabar terhadap anak-anak orang lain, tidak menaruh kasih-sayang kepada mereka. Contoh luhur Rasulullah saw adalah mencintai dan bersikap kasih-sayang kepada semua anak dari semua kalangan. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang kecintaan Beliau Saw kepada anak-anak.
1. At-Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya:
Saya melihat Rasulullah Saw. sedang menyampaikan khutbah, maka datanglah Hasan dan Husain ra. yang mengenakan baju merah, berjalan dan lalu terjatuh. Kemudian Rasulullah saw. turun dari mimbar, dan mengambil keduanya, dan mele¬takkan bersamanya. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan. Aku melihat ke kedua anak kecil itu berjalan dan terjatuh, maka tidaklah aku sabar, sehingga aku memotong pembicaraanku dan mengangkat ke¬duanya”.
2. An-Nasa’i dan Al-Hakim meriwayatkan:
“Ketika Rasulullah Saw. shalat mengimami para ma’mum, tiba-tiba datanglah Husain, dan menunggangi pundak Rasulullah saw. ketika beliau sujud. Maka beliau melamakan sujud, hingga para ma’mum mengira terjadi sesuatu. Setelah shalat usai berka¬talah mereka, ‘Engkau telah memanjangkan sujud wahai Rasulul¬lah, hingga kami mengira telah terjadi sesuatu’. Rasulullah saw. menjawab, ‘Anakku (cucuku) telah menjadikan aku sebagai tunggangan, maka aku tak suka mengganggu kesenangannya sehingga ia puas”.
3. Dalam Al-Ishabah dikatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bermain-main dengan Hasan dan Husain ra. Rasulullah Saw. merangkak di atas kedua tangan dan lututnya, dan kedua cucu¬nya tersebut bergelantungan dari kedua sisinya, dan merangkak bersama keduanya, sambil bersabda:
الْعِدْ لاَنِ عْمنِ أَنْتُمَا وَ جَمَلُكُمَا الْجَمَلُ نِعْمَ Sebaik-baik unta adalah unta kamu berdua, dan sebaik-baik beban muatan adalah kamu berdua.
4. Dalam Shahihain, dari Anas ra. Rasulullah Saw. bersabda: ٬ بُكاَئِهِ مِنْ اُمِّهِ وَجْدِ مِنْ أَعْلَمُ مِمَّا خْتَصِرُ اَ أَيْ صَلاَتِيْ فِى فَأَتَجَوَّزُ الصَّبِيِّ بُكاَءَ فَأَسْمَعُ اِطَالَتَهَا أُرِيْدُ وَأَنَا الصَّلاَةِ فِي لأَدْخُلُ إِنِيْ
“Sungguh ketika aku telah mulai melaksanakan shalat, sedangkan aku ingin memanjangkannya. Namun aku kemudian mendengar tangisan anak kecil, maka saya pun mempercepat shalat karena saya tahu perasaan sedih ibunya disebabkan tangisan itu”
5. Ketika Rasulullah Saw. melewati rumah putrinya, yaitu sayyidah fatimah r.a., beliau mendengar Al-Husain sedang menangis, maka beliau berkata kepada Fatimah, “Apakah engkau belum mengerti bahwa menangisnya anak itu menggangguku.” Lalu beliau memangku Al-Husain di atas lehernya dan berkata, Ya Allah, sesungguhnya aku cinta kepadanya, maka cintailah dia. Ketika Rasulullah SAW. sedang berada di atas mimbar, Al-Hasan tergelincir. Lalu beliau turun dari mimbar dan membawa anak tersebut.
6. Al-Aqraa bin harits melihat Rasulullah Saw. mencium Al-Hasan r.a. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai sepuluh orang anak, tetapi aku belum pernah mencium mereka.” Rasulullah bersabda, “Aku tidak akan mengangkat engkau sebagai seorang pemimpin apabila Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu. Barang siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang, niscaya dia tidak akan di sayangi.”